SAAT cahaya fajar menyapa. Mataku masih terkantuk-kantuk. Mulut beberapa kali menguap. Aku memang tak bisa tidur semalam. Beda dengan Saridin yang tertidur pulas di kasur empuk.
Usai salat Subuh. Aku keluar kamar. Pemilik rumah menyapaku dari arah dapur. Ada lingkaran hitam di dekat matanya. Ia masih mengenakan mukena. Wanita itu bertubuh kurus serta sedikit bungkuk. Tingginya cuma sebahu pria dewasa.“Mungkin ia juga tak bisa tidur dari semalam,” pikirku.
“Minum dulu nak,” ujarnya. Wanita ini menghidangkan secangkir kopi hitam serta sepiring pisang goreng di atas meja makan.
“Ia buk. Ibu cepat kali bangun, apa tidak bisa tidur dari semalam,” kataku basa-basi.
“Bukan. Saya memang biasa cepat bangun. Maklum, harus ke Sawah. Sebentar lagi panen, tapi hama tikus banyak sekali belakangan ini. Harus dijaga ekstra agar tak habis dirusak,” katanya. Aku tak tahu, entah wanita itu berbohong demi menyenangkan hati kami atau tidak.
“Dari semalam, saya tak melihat Si Bapak dan anak-anak ibu. Kemana mereka?” tanyaku lagi.
Mendengar pertanyaan ini, wanita paruh baya itu tiba-tiba menitikan air mata. Aku menyesal menanyakan hal itu kepadanya.
“Suami saya dijemput oleh beberapa pria berseragam loreng satu bulan sebelum darurat militer diterapkan. Hingga kini belum pulang,” ujarnya dengan nada berat. Air matanya jatuh membasahi mukena.
“Anak saya yang sulung sekarang bekerja di Malaysia. Sedangkan yang perempuan saat ini kuliah di Aceh (Banda Aceh). Sengaja memang saya suruh ke luar (Kandang) agar tak jadi korban salah sasaran,” katanya lagi.
Aku menjadi serba salah. Seharusnya aku tidak menanyakan itu, karena posisiku sendiri sebagai Tentara Nanggroe.
“Maaf jika perlawanan yang kami lakukan saat ini telah berimbas tak baik bagi keluarga ibu. Mungkin ini sangat berat bagi ibu dan keluarga,” ujarku.
“Tak ada yang salah Nak. Mungkin ini memang takdir bagi saya. Kamu juga pasti memiliki alasan sendiri untuk melakukan pemberontakan. Semua punya alasan masing-masing,” ujarnya.
Ia kemudian bergegas ke dekat lemari. Di sana ia mengambil dua lembar foto dan memperlihatkannya kepadaku.
Di foto pertama, terlihat beberapa pria sedang tertawa di samping kuali besar berisi daging sapi. Ada tiga pria terlihat duduk sambil merokok dan satu pria berpeci hitam yang memegang gayung.
“Ini foto suami saya. Ini foto tiga Minggu sebelum Bapak dijemput. Foto ini acara tetangga sebelah saat kenduri. Bapak yang memakai peci hitam,” kata wanita itu. Aku cuma mengangguk.
“Kalau ini, foto anak lelaki saya yang di Malaysia. Orangnya kurus dan tinggi. Mungkin ikut darah dari ayahnya yang memang tinggi. Mudah-mudahan dia sehat-sehat saja. Sudah dua bulan dia di sana,” ujarnya lagi sambil memperlihatkan pasfoto jadul milik anaknya.
“Ini foto SMA atau kapan Buk? Kelihatannya udah lama,” tanyaku.
Wanita tadi tersenyum. “Ia, pasfoto ijazah SMA. Sekitar 4 tahun lalu. Namun tak banyak perubahan dia,” katanya.
Aku terdiam. Demikian juga dengan wanita itu.
“Oya, kalau boleh saya tahu, nama ibu siapa,” ujarku lagi mengalih pembicaraan.
“Aminah. Orang di sini biasanya memanggil Nek Minah,” jawabnya.
“Kalau saya, Musa. Musa Abdullah dari Kemukiman Teungku Chik di Paloh,” ujarku lagi tanpa diminta. Wanita itu tersenyum.
“Diminumlah kopinya. Pisang gorengnya juga masih hangat. Kamu pasti lapar,” kata Nek Minah.
Aku mengangguk. Kuambil segelas kopi dan mencoba meminumnya. Namun tak senikmat biasanya. Perasaan tak enak karena kisah Nek Minah tadi membuat selera makanku berkurang. Padahal kopi yang disajikan adalah kopi Gayo.
“Pisangnya dimakan juga. Ini dari hasil kebun di belakang rumah,” kata Nek Minah. Ia berbicara sambil meletakan kembali dua lembar foto tadi dalam lemari di belakangku.
Aku mencoba menyantap sepotong pisang goreng tadi. Lumayan enak.
Selang beberapa menit kemudian, Saridin muncul dari arah belakang. Ia terlihat segar bugar. Pria berwajah datar ini meraih gelas kosong dan mengisinya dengan kopi. Ia kemudian meneguknya hingga setengah.
Saridin juga menghabiskan beberapa potong pisang goreng hangat hanya dalam hitungan menit.
Saridin sendiri adalah mantan Panglima Daerah I Teungku Chik di Paloh. Saat damai COHA – sebelum darurat militer – Saridin diutuskan ke Kuala Tripa mewakili Komandan Operasi GAM bersama Teungku Amri Abdul Wahab. Ia pulang ke Kandang seiring dengan isu akan adanya darurat militer.
“Pisang goreng Nek Minah ini sangat enak. Apa bisa dibungkus untuk teman-teman,” ujar Saridin tak berperasaan. Nek Minah mengangguk. Aku cuma geleng-geleng kepala. Nek Minah kemudian sibuk mencari kantong plastic untuk mengisi sisa pisang goreng seperti permintaan Saridin.
“Saridin hanya bercanda Nek Minah. Tak perlu repot-repot,” ujarku tak enak hati.
“Aku serius,” kata Saridin lagi dengan kalimat tak berdosanya.
“Ia tak apa-apa. Saya juga iklas kok,” ujar Nek Minah lagi.
Sekitar pukul 08.00 WIB, aku dan Saridin meminta izin pamit pada Nek Minah. Aku menatap Nek Minah dengan perasaan campur aduk. Rasa kantuk seolah hilang. Ini karena aku salut dengan keteguhan hati wanita itu. Kehilangan suami dan tinggal seorang diri ternyata membuatnya tetap tegar menjalani hidup.
“Mungkin ada ribuan sosok seperti Nek Minah akibat konflik ini. Oh Tuhan, limpahlah rahmad dan karuniamu untuk mereka,” ucapku dalam hati. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post