KICAUAN burung menyambut pagi pertama kami di markas Bang Yan. Mereka riuh dan saling bercengkarman di atas batang pohon.
Tiga ekor tupai terlihat meloncat dari dahan yang satu ke dahan lainnya. Yang pertama berukuran cukup besar. Ia sangat lincah. Sedangkan dua lainnya berukuran kecil. Dua yang terakhir seakan masih ragu-ragu untuk melompat. Seperti sedang belajar. Namun tatapan sang tupai besar seolah memberi semangat. Dua tupai kecil pun mencoba hal yang sama dan ternyata berhasil. Mereka kemudian menghilang di antara perpohonan.
Langit terlihat cerah berwarna biru. Gugusan awan putih hilir mudik di sana. Suara percikan air terdengar dari kejauhan. Kombinasi alam ini membuatku betah memandang.
Pagi itu, Bang Yan terlihat sibuk dengan handphone. Delapan pengawalnya mengawal dari jarak dekat.
“Pagi, Pakwa,” ujarnya saat melihatku. Aku mengangguk serta memberi hormat.
Menurut informasi dari Bang Yan, perang terbuka terjadi di beberapa tempat malam tadi. Beberapa anggota pasukan Nanggroe tewas. Raut wajahnya terlihat muram saat menceritakan ini.
“Semakin banyak yang janda dan anak-anaknya menjadi yatim,” katanya dengan nada pelan. Aku terdiam mendengar hal ini.
Bang Yan memintaku untuk menemaninya ke markas sebelah. Disana, ternyata ada ratusan anggota pasukan yang sedang latihan militer. Memegang senjata, menembak serta ada juga yang dijemur tanpa baju karena lalai saat tugas.
“Menurutmu, berapa diantara mereka yang akan bertahan hingga darurat militer ini berakhir?” ujar Bang Yan kepadaku. Pertanyaan ini sebenarnya sangat sulit untuk kujawab.
“Bukankah ketika mereka bergabung, mereka telah siap untuk syahid, Aduen,” tanyaku kembali. Bang Yan tak menjawab. Ia malah menodongku dengan pertanyaan lagi.
“Menurutmu, kapan kita akan menyusul mereka yang syahid itu?” tanyanya lagi. “Apakah kita akan mati sebagai separatis atau pahlawan? Atau kita akan menambah daftar nama pengkhianati negeri ini.”
“Sebenarnya, sebutan separatis atau pahlawan itu tergantung kita melihat dari sisi mana, aduen. Bagi republik ini, mungkin kita separatis dan TNI adalah pahlawan. Namun saat masa Belanda dulu, TNI juga separatis dan serdadu marsose adalah pahlawan,” ujarku.
“Pakwa, kamu pasti mengetahui bahwa tidak ada negara yang merdeka serta direbut melalui senjata. Indonesia saja sebenarnya sudah disiapkan kemerdekaannya oleh Jepang. Gerakan Bung Karno sebenarnya hanya menggeser harinya saja.”
“Demikian juga dengan kita. Gerakan senjata kita sebenarnya hanya untuk memperlihatkan ke dunia luar bahwa ada perlawanan dari Aceh. Saat ini orangtua kita di luar negeri sedang memperkuat gerakan politik. Namun masalahnya, agar hal itu tercapai, butuh ribuan nyawa dari pemuda seperti kita, serta mereka,” kata Bang Yan sambil memandangi pasukan Nanggroe.
Aku terdiam. Bang Yan kembali memandangiku.
“Kau kapan kembali ke kampus? Apa tak kangen dengan suasana di kampusmu?” ujarnya tiba-tiba mengalihkan membicaraan.
“Tidak aduen. Aku masih ingin mengabdi di sini. Keputusan ini sudah saya ambil. Saya sudah memikirkan resiko ini jauh hari sebelum bergabung dengan pasukan Nanggroe. Hidup mati saya untuk Aceh,” jawabku. Bang Yan tersenyum.
“Saya akan kembali ke kampus usai perang ini berakhir,” ujarku. Namun kali ini kening Bang Yan kembali berkerut.
“Bagaimana kalau 100 tahun lagi? Atau bisa jadi, perang ini akan terus terjadi hingga 7 generasi di bawah kita,” tanyanya.
“Itu mungkin sudah takdir aduen,” ujarku singkat. Bang Yan mengangguk. Ia kemudian berjalan mendekati anggota pasukan yang sedang latihan. Aku menyusulnya dari arah belakang. Para mualem memberi intruksi agak latihan berhenti sementara. Semua anggota pasukan diminta berbaris di depan Bang Yan. Mereka siap menerima arahan dari panglima.
“Aku tak tahu apa alasan kalian bergabung dengan Tentara Nanggroe. Tidak ada gaji di sini. Tidak ada uang. Jauh dari istri dan anak bagi yang sudah menikah. Namun ketika pilihan itu sudah kalian ambil, maka aku minta kalian bersungguh-sungguh. Perang di depan mata, lalai berarti mati.”
“Ada ribuan yang datang dan kemudian hilang nyawa. Beberapa di antara mereka bahkan tak tahu di mana kuburannya. Tak ada tanda jasa untuk kita. Bagi republik ini, kita separatis. Kita pemberotak. Kita pengacau keamanan. Namun kita memiliki alasan untuk berjuang. Kita punya cita-cita, dan karena inilah kita berada di sini. Aku harap kalian sadar dengan itu,” ujar Bang Yan.
“Latihanlah bersungguh-sungguh. Jangan pikirkan hari esok. Bertahanlah hari demi hari. Anggaplah pasukan ini keluarga kalian saat ini. Buktikan bahwa dalam diri kalian mengalir darah pejuang Aceh. Bukan darah Pang Tibang. Hidup mulia atau mati syahid,” kata Bang Yan mengakhiri arahannya.
Seluruh pasukan tertunduk. Beberapa ada yang menetes air mata. Aku kembali terdiam. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post