SETELAH hampir dua pekan di markas Bang Yan. Aku menerima dua laporan penting.
Pertama, anggota Tentara Nanggroe dari Bener Meriah, mengabarkan bahwa ratusan TNI mulai menyisir hutan Negeri Antara untuk mencari lokasi persembunyian Tentara Nanggroe. TNI mulai memasuki perbatasan Bener Meriah dan Aceh Utara.
Sedangkan informasi kedua, beberapa hari lalu, pasukan Jamal terlibat kontak tembak dengan TNI. Beberapa anggotanya menuai ajal dalam pertempuran itu.
Bang Yan kemudian meminta pasukan untuk menyebar.
Aku, Ayah Halim, Said Adnan yang merupakan gubernur GAM Pasee, kemudian ada Syech Khadi, serta beberapa petinggi dari Peureulak, diminta untuk kembali bergerilya. Di sana, kami dijemput oleh Teungku Ramli dan Mawo’.
Sedangkan Bang Yan memilih bergabung dengan salah satu pasukan di Pase.
“Berangkatlah. Kalau umur kita panjang, kita akan bertemu kembali,” ujar Bang Yan saat rapat terakhir tadi pagi. Ia berulang kali menghisap rokok Benson & Hedges. Asap rokok made in London ini memenuhi ruangan.
Kami cuma mengangguk. Ayah Halim sempat terbatuk-batuk. Di antara kami, cuma Ayah Halim yang tak merokok. Said Adnan terkekeh melihat Ayah Halim. Di tangannya, rokok ‘555’ masih tersisa setengah.
Dari markas, kami berjalan kaki ke arah Panton Labu. Namun ternyata sangat sulit untuk menembus blokade TNI. Kami kemudian memutuskan untuk kembali menyebarang ke Aceh Timur.
Dari pedalaman Aceh Timur, kami kemudian diantar dengan sepeda motor oleh penghubung ke wilayah Krueng Thoe, Kecamatan Madat, Kabupaten Aceh Timur.
Krueng Thoe adalah sebuah pulau kecil yang menghadap Selat Malaka dan sungai. Di sana kami mengatur ulang strategi. Kami berada di sana hampir dua pekan lamanya.
Alasan lokasi yang sempit serta logistic yang kian menipis membuat kami susah bergerak. Tim kembali dipecah menjadi dua. Aku dan Ayah Halim menempuh jalur laut dengan menggunakan boat.
Sedangkan Said Adnan, Syech Khadi, Teungku Ramli dan Mawo’ memilih jalur darat ke Panton Labu.
Kami hanya butuh sekitar belasan menit dari Krueng Thoe ke Kuala Cangkoi. Kami berada di pantai itu sekitar satu jam dan kemudian berjalan kaki hingga memasuki perkampungan.
Gerak kami agak lamban. Ini karena beberapa kali kami terpaksa berhenti dan bersembunyi saat melihat rombongan TNI lewat. Kami tak mungkin menembak karena kalah jumlah.
Sekitar pukul 10.00 WIB, aku dan Ayah Halim tiba di sebuah keude. Pengunjung warung saat itu terlihat ketakutan saat melihat kami. Mereka takut keberadaan kami mengundang TNI sehingga terjadi perang di sana.
Seorang pria muda terlihat terkejut melihat aku dan Ayah Halim. Dari warung kopi, ia bergegas menuju ke arahku. Belakangan, aku mengetahui jika sosok itu adalah penghubung Tentara Nanggroe serta dipanggil Damah. Entah itu nama asli atau bukan.
“Kenapa para panglima berdua di sini. Mana pasukan pengawal? Di sini tidak aman. Ayo ke tempat lain,” ujar Damah. Ia kemudian mengarahkan kami ke sebuah rumah tua yang tak berpenghuni.
Damah meninggalkan aku dan Ayah Halim. Ia meminta izin. Selang beberapa menit, ia kembali dengan membawakan sekantong kopi dan dua nasi bungkus.
Aku menceritakan kondisi kami ke Damah usai mandi dan makan. Ia mengangguk dan hanya mendengar. “Tolong antar kami ke lokasi berbeda sebentar,” kataku.
Saat Damah pergi tadi, aku dan Ayah Halim memang telah sepakat untuk ke tempat yang berbeda. Ayah Halim ingin bergabung dengan Teungku Ramli di Panton Labu. Sedangkan aku ingin ke kawasan Kandang.
Damah kemudian menghubungi Ayah Man U.S agar mengirim seorang penghubung untuk mengantarku ke kawasan Kandang. Penghubung tersebut bernama Taufik.
Sedangkan Ayah Halim sendiri dijemput oleh ‘Si Aceh’.
Taufik memboncengku dengan menggunakan sepeda motor. Kami melalui jalan Medan-Banda Aceh. Aksinya ini terbilang nekat. Pasalnya, beberapa kali kami melewati markas TNI.
Ia juga tak segan-segan menyapa TNI yang dikenalnya saat lewat. Perasaanku was-was. Pistol FN kuselip di antara selangkangan.
Kami berangkat sekitar pukul 11.00 WIB dan tiba di kawasan Kandang saat Dhuhur tiba.
Bersadarkan informasi dari penghubung, beberapa tentara dan sipil Nanggroe saat itu sedang berada di salah satu rumah warga. Ke sanalah kami mengarah.
Saat tiba, aku disambut oleh Saridin. Di sana juga ada Suadi, Teungku Muhammad Nur serta Si Abang. Teungku Muhammad Nur merupakan sipil Nanggroe dari unsur dayah.
Mereka memintaku untuk menceritakan kondisi pasukan di lapangan.
Sore harinya, sekitar pukul 17.00 WIB, saat aku sedang duduk bersama beberapa anggota pasukan Saridin, tiba-tiba seseorang menyapaku dari arah belakang.
“Apa kabarmu, Musa?” ujarnya. Suaranya pelan namun tegas. Suara itu sangatku rindukan… [Bersambung]
Cerita ini merupakan karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post