USAI salat Magrib berjamaah yang diimami oleh Teungku Muhammad Nur, Saridin membuat rapat dadakan. Ia memanggil kami semua untuk berkumpul di ruang tamu.
Sedangkan beberapa anggota pasukan berjaga-jaga di sekitar ‘markas’ dadakan kami. Satu orang di antaranya malah diutuskan untuk ngopi bersama tentara republik.
Pos TNI berada di Simpang Kandang. Lokasi ini hanya berjarak sekitar 300 meter dari Desa Meunasah Mee, Kemukiman Kandang, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, lokasi markas kami. Tujuannya, agak ia mengetahui bila TNI melakukan patroli serta informasi lainnya.
“Malam ini kita tidak bisa tidur satu tempat. Perintah Ayah Kuari, kita diminta menyebar ke rumah-rumah penduduk. Ini agar TNI tak curiga,” ujarnya membuka percakapan. Ayah Kuari merupakan Panglima Daerah 2 Pase.
“Apakah aman dengan keputusan itu? Bukankah sangat riskan jika lokasi tempat menginap kita nanti dibocorkan kepada TNI?” ujar Teungku Muhammad Nur. Sedangkan yang lain terdiam.
“Kalau bocor, bisa terjadi perang kota. Kandang daerah padat penduduk. Kalau perang, masyarakat sipil yang bakal jadi korban,” kata Teungku Muhammad Nur lagi. Kekhawatiran Teungku M. Nur memang sangat beralasan. Ini karena Kandang hanya berjarak 3 kilometer dari Kota Lhokseumawe. Penduduknya padat. Kalau perang pecah, maka sulit untuk meloloskan diri. Tetapi Saridin sepertinya punya pendapat lain.
“Tidak. Saya jamin tidak. Jangan pernah kalian ragukan kesetiaan masyarakat Kandang terhadap Nanggroe. Jika seandainya seluruh rakyat Aceh sudah berpihak ke Republik, maka masyarakat Kandang berada di urutan terakhir,” kata Saridin.
Apa yang dikatakan oleh Saridin memang benar adanya. Sikap perlawanan masyarakat Kandang ke Republik bisa dilihat dengan banyaknya tokoh Tentara Nanggroe yang berasal dari Kandang.
Sebut saja Bang Jex, mantan Kepala Polisi GAM Pase. Ia meninggal kira-kira setahun sebelum darurat militer diterapkan. Sosok itu kemudian digantikan oleh Teungku Ni. Bang Jex berasal dari Kandang.
Kemudian ada sosok Ahmad Kandang selaku mantan Komandan Operasi Tentara Nanggroe Wilayah Pase. Ia juga meninggal sebelum darurat militer diterapkan oleh Megawati. Posisi Ahmad Kandang kemudian digantikan oleh Ayah Saridin.
Ada juga sosok Nek Dan, tokoh GAM dari era 90-an. Biarpun tak memiliki jabatan strategis, keberadaan Nek Dan dalam kebijakan Tentara Nanggroe sangat diperhitungkan.
Terakhir, ada Jamal selaku logistik Tentara Nanggroe di Pase. Ia juga cukup diperhitungkan oleh lawan.
“Baik lah kalau begitu. Saya ikut keputusan dari Ayah Kuari. Saya percaya kepadamu Saridin untuk menempatkan mereka di rumah yang aman,” ujarku. Saridin mengangguk.
Malam itu, ternyata ada belasan anggota pasukan dari Pase dan Peureulak yang sedang berada di kawasan Kandang. Usai didata, kami kemudian diantar ke rumah-rumah penduduk. Per rumah ditempatkan 2 orang. Kami menyebar dari Desa Meunasah Mee, Keude Dua, Meunasah Mamplam, Meunasah Mayang hingga Meunasah Blang.
Aku sendiri menginap di salah satu rumah penduduk di Desa Meunasah Mee. Aku sekamar dengan Saridin.
“Besok kita kumpul lagi di sini. Isya Allah, malam ini kita aman,” ujar Saridin sebelum bubar tadi.
Di rumah penduduk, kami ternyata malah diberikan kamar khusus. Lengkap dengan kasur empuk dan bantal guling. Sang penghuni rumah juga mengganti seprei baru saat kami tiba. Aku tersenyum ke arah Saridin.
“Sudah aku bilang kan. Orang Kandang paling setia terhadap perjuangan Nanggroe. Isya Allah seperti ini selamanya,” katanya. Aku mengangguk tanda percaya.
Sebelum tidur, Saridin juga memberikan informasi lain kepadaku. “Jamal sebenarnya sudah berada di Kandang. Ia tiba dua hari sebelum kedatanganmu. Saat ini ia berada di pesisir. Mungkin ia masih ingin menyendiri pasca perang yang menewaskan banyak anggota pasukannya di daerah Panton Labu,” ujarnya. Aku tak berkomentar banyak soal itu.
Di luar kamar, aku mendengar suara wanita yang sedang berzikir. Ini dilakukannya hingga pukul 00.00 WIB dini hari. Aku menduga suara itu milik sang punya rumah. Ia sepertinya tak bisa tidur. Maklum, ada dua Tentara Nanggroe tidur di rumahnya. Sementara pos TNI hanya berjarak ratusan meter.
Aku merasa tak enak hati. Namun kalau aku keluar kamar, sang pemilik pasti lebih khawatir lagi. Aku akhirnya memilih bertahan dalam kamar. Sedangkan Saridin tertidur pulas di sisi kananku.
Sekitar pukul 02.00 WIB, jejak kaki terdengar di dekat kamar yang kami tempati. Ada suara hentakan sepatu di luar rumah. Aku memperkirakan jumlahnya mencapai belasan orang.
“Raider,” gumamku.
Aku mencoba waspada. Kuraih senjata FN dan kuletakan dekat kepala. Siaga jika seandainya mereka menerobos masuk dalam rumah.
“Biarpun harus tewas, paling tidak ada perlawaann,” pikirku. Namun tak berapa lama, suara itu terdengar menjauh. Aku menarik nafas lega.
Sedangkan Saridin masih terlelap. Ia tertidur pulas dan seakan-akan tak ada ancaman apapun malam itu.
Malam kian larut. Namun mataku tak juga terkantuk. Suasana kian sepi dan senyap. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post