“Musa, kau kah itu, Nak,” ujarnya lagi.
Aku membalikkan badan. Di sana aku melihat seorang pria paruh baya berdiri menatapku. Ia tersenyum. Jaraknya hanya beberapa meter. Namun baju putihnya terlihat lusuh. Di beberapa bagian, malah tampak menguning. Peci hitam masih melekat di kepala.
Baju itu merupakan hadiah aku saat lebaran Idul Fitri setahun lalu. Saat itu pula terakhir kami berjumpa.
“Ayah.”
“Kapan ayah tiba di sini?” ujarku lagi. Aku segera memeluk sosok itu erat. Beberapa tentara Nanggroe memandang kami penuh makna.
“Beberapa hari lalu. Sama sepertimu, ada tugas Nanggroe di dekat sini. Tadi sekitar pukul 14.15 WIB, aku mendengar kamu ada di sini, makanya mampir. Alhamdulillah, kamu baik-baik saja, nak,” katanya lagi. Aku mengangguk.
“Alhamdulillah ayah. Tak kurang apapun. Bagaimana dengan kondisi ayah dan ibu di rumah. Baik-baik saja kah?” ujarku lagi.
“Ibumu baik. Buktinya, ia masih bisa memarahi ayah kalau lama tak pulang ke rumah. Kalau ayah sendiri seperti yang kamu lihat. Masih bisa mengabdi untuk Nanggroe,” ujarnya lagi. Aku tersenyum.
Saridin tiba-tiba muncul dari belakang. Ia memelukku dan ayah. “Apa kabar pak Abdullah? Sehat-sehat saja kah selama ini,” ujarnya sambil memandangi ayahku.
“Baik. Bagi seorang ayah, akan merasa sangat sehat jika mengetahui keadaan anaknya baik-baik saja,” ujar ayahku.
“Anakmu itu sekarang salah seorang petinggi kita di Pase. Ia selalu dikawal oleh pasukan. Makanya tentara republik akan berpikir 10 kali jika ingin menyergapnya,” kata Saridin.
“Oh begitukah? Apa aku harus memberi hormat kepadanya saat ini?” kata ayahku. Aku menggeleng kepala. Saridin tertawa.
“Pak Abdullah, ayo kita masuk ke markas dulu. Kita minum kopi hitam dulu. Biarpun kita sedang darurat militer, kopi dan teh hangat tetap tersedia,” ujar Saridin lagi.
Kami kemudian mengarah ke ruang tamu. Di sana, Teungku Muhammad Nur dan Suadi juga terlihat sedang ngopi.
“Kopi atau teh pak Abdullah? Kalau Pakwa, saya tak usah bertanya lagi, pasti kopi ginseng,” kata Saridin. Aku tersenyum.
“Kopi saja,” ujar ayahku singkat.
Saridin kemudian memberi isyarat kepada petugas dapur untuk membuat dua kopi hitam, dan satu kopi ginseng.
“Bagaimana keadaan di Teungku Chik Di Paloh? Aman-aman saja kah?” ujar Saridin lagi.
“Kalau aman tidak. Seluruh pemuda harus keluar kampung. Hanya orang tua seperti kami yang tersisa di sana. Tadi juga berpas-pasan dengan Tentara Republik, Alhamdulillah mereka tak curiga,” ujar ayahku.
“Saat di Batuphat juga begitu. TNI hampir ratusan. Saya pikir sudah mati. Namun Allah SWT sepertinya masih memberi saya kesempatan untuk hidup. Ke depan, saya tak tahu. Kabarnya, ribuan Raider sudah mendarat di Pelabuhan Malahayati Aceh Besar,” katanya pelan.
“Itu artinya, perjuangan kita diridhoi oleh Allah SWT,” timpal Teungku Muhammad Nur. Suadi mengangguk.
“Ayah berhati-hatilah. Jangan memaksakan diri,” ujarku.
“Seharusnya aku yang memberi nasehat itu. Aku ayahmu. Lagian, yang dicari-cari TNI itu, kamu dan Bang Yan serta Mualem. Kamulah yang harus berhati-hati. Usiamu masih sangat muda. Nikah saja belum,” ujarnya. Saridin tersenyum. Aku tertunduk malu.
“Dia mungkin sudah menyimpan calon menantu untukmu, Pak Abdullah. Cuma belum diperkenalkan saja,” kata Saridin lagi.
“Saat konflik seperti ini, hal seperti itu tak usah dipikirkan dulu. Masih banyak tugas Nanggroe yang harus diselesaikan,” ujarku.
“Kalau tunggu sampai konflik selesai, kamu tak bakalan menikah-menikah, Pakwa. Bisa jadi ini hingga 7 keturunan kita nanti,” timpal Suadi. Ayahku terkekeh.
Waktu berlalu dengan cepat. Saat suara alunan ayat Alquran terdengar dari masjid terdekat. Ayah minta izin pamit. Aku menemaninya hingga jalan kampung. Dari sana, ia menumpang RTB (sejenis ojek) untuk kembali meneruskan perjalanan pulang ke Paloh.
Ayahku merupakan seorang sipil Nanggroe. Namun tak banyak yang kuketahui terkait tugasnya sebagai sipil Nanggroe. Ia enggan menceritakannya kepadaku.
“Kamu berhati-hatilah. Aku tidak mau kembali kehilanganmu. Meninggalnya adikmu setahun lalu masih membekas di ingatanku. Aku tak mau kembali disalahkan oleh ibumu,” katanya sebelum berlalu.
“Iya ayah. Doakan aku selamat,” ujarku singkat.
“Kalau kamu melintas di Paloh, singgahlah di rumah. Lihatlah kondisi ibumu. Ia akan sangat senang jika kamu pulang untuk menjengguknya. Tak perlu membawa apa-apa. Melihatmu masih hidup, ia pasti sudah sangat bersyukur,” kata dia lagi.
Aku cuma terdiam mendengar hal itu. Aku memandangi laju RBT hingga benar-benar hilang di tikungan jalan. Saat itu suara azan mulai berkumandang dari kejauhan. Jalanan kampung sepi. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post