POLEMIK keberadaan bendera Aceh hingga kini belum tuntas. Bahkan bendera Aceh, walaupun telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) serta dilembar-Aceh-kan oleh eksekutif, belum juga bisa dikibarkan di daerah ini.
Pertanyaannya, mengapa?
Padahal, UUPA secara tegas telah memberikan kewenangan penuh untuk Aceh untuk memiliki bendera dan lambang tersendiri. Namun kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) tentang Lambang Daerah tahun 2007 seakan menganjal niat masyarakat Aceh untuk memiliki lambang dan lambang tersendiri. Hal inilah yang membuat penulis menarik untuk membahas persoalan bendera Aceh yang kian tak berujung.
Sebagaimana yang kita ketahui, bendera Aceh disahkan DPR Aceh pada Jumat malam, 22 Maret 2013 lalu. Beberapa hari kemudian langsung dilembar-Acehkan oleh Gubernur Aceh.
Artinya, sebenarnya DPR dan eksekutif sepakat dengan bulan bintang sebagai bendera Aceh dan buraq singa sebagai lambangnya. Ini dibuktikan dengan begitu cepat respon eksekutif untuk melembar-Aceh-kan qanun bendera dan lambang Aceh.
Pada awal-awal disahkan, Pemerintah Pusat juga langsung turun ke Aceh untuk melakukan mediasi. Dari Dirjen Otda hingga Mendagri yang saat itu masih dijabat oleh Gamawan Fauzi.
Dalam catatan selanjutnya, keberadaan bendera Bulan Bintang sebagai bendera Aceh juga semakin mendapat tekanan dari Pemerintah Pusat. Proses cooling down atau penundaan sementara berlangsung hingga beberapa kali dan berujung dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan seperti saat ini.
Dari media massa penulis mengutip, cooling down sendiri sebenarnya tidak memiliki pengaruh apapun dalam aturan hukum. Presiden, yang saat itu dipimpin oleh SBY, juga tidak pernah membatalkan qanun bendera Aceh tersebut.
Sedangkan DPR Aceh hingga saat ini mengaku bahwa bendera Aceh sudah sah secara hukum. Hal ini kemudian diiyakan oleh eksekutif Aceh, dalam hal ini Kepala Biro Hukum Setda Aceh.
Sayangnya, dalam jalannya waktu, eksekutif Aceh terlihat mulai acuh tak acuh terhadap bendera Aceh. Ini dibuktikan dengan tidak adanya komitmen yang kuat dari eksekutif Aceh untuk mengimplementasikan Qanun Bendera dan Lambang Aceh ini.
Menurut penulis, sikap acuh tak acuh dari eksekutif ini dipengaruhi oleh besarnya tekanan dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Sikap acuh tak acuh ini dapat dilihat dengan tidak adanya pembangunan tiang baru di tiap SKPD sebagai tempat pengibaran bendera Aceh.
Di kantor gubernur misalnya, tiang bendera masing satu unit. Demikian juga dengan SKPD lainnya di tingkat provinsi.
Yang baru membangun tiang untuk bendera Aceh adalah DPRA. Walaupun di tiang tersebut juga pernah dikibarkan bendera Aceh.
Sikap tidak komitnya eksekutif Aceh inilah yang kemudian membuat masyarakat Aceh jenuh dengan soal bendera Aceh. Ibarat kata lagu dangdut, “kau yang memulai, dan kau pula yang mengakhiri.”
Polemik bendera Aceh kini semakin menggurita di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang sudah terlanjur simpati dengan bulan bintang bahkan ada yang mengibarkan sendiri. Ini karena mereka jenuh dengan sikap eksekutif soal bendera Aceh.
Walaupun para pengibar tadi harus berhadapan dengan aparat keamanan. Pertanyaannya, siapa yang salah terkait kasus ini?
Saran penulis, eksekutif Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh, perlu kembali menegaskan komitmennya soal bendera Aceh. Kalau memang mereka bersalah karena telah melembar-Acehkan qanun bendera, maka gubernur harus mampu meminta maaf kepada masyarakat Aceh. Karena gara-gara sikap gubernur yang melembar-Acehkan qanun bendera, masyarakat berani mengibarkan bulan bintang.
Sedangkan kalau bendera Aceh memang sudah sah, gubernur serta SKPD memang sepakat dengan bulan bintang, juga perlu disampaikan ke public. Katakan sejujurnya, bahwa SKPD Aceh dan gubernur sepakat dengan bulan bintang, tapi mereka tidak berani mengibarkannya.
Katakan yang sejujurnya sehingga masyarakat paham dengan kondisi yang terjadi hari ini. Jangan sampai masyarakat menjadi korban dari kebijakan ragu-ragu pemerintah saat ini.
Penulis adalah Mustafa, wirausaha yang tinggal di Aceh Besar.
Discussion about this post