MEDIAACEH.CO, Jakarta – Hingga 10 tahun perdamaian Aceh masih dirayakan dengan seromonial, romantisme dan nostalgia. Sewajarnya, memasuki 10 tahun RI-GAM berjabat tangan diselenggarakan dengan menukik untuk mengetahui hal-hal yang belum ada realisasi.
Demikian rumusan kesimpulan yang disampaikan oleh komunitas Awak Droe Only (ADO) alias Aceh Diaspora yang tersebar di berbagai negara dan daerah.
“Mengikuti rangkaian 10 Tahun Perayaan Damai Aceh sejak Sabtu dan puncaknya pada Minggu 15 November 2015, masih berleha-leha dengan serimonial dari meja ke meja seperti tahun lalu,” kata kata Koordinator ADO, Teuku Yusra Darma dalam siaran persnya, Minggu, 15 November 2015.
“Tidak ada perubahan yang signifikan dibandingkan pelaksanaan selama sembilan tahun MoU Helsinki. Padahal setiap tahun menghabiskan miliaran uang rakyat untuk serimonial ini,” tambahnya lagi.
Teuku Yusra Darma menjelaskan, perdamaian di angka 10 lebih bermakna dengan membuka catatan-catatan yang belum ada realisasi baik yang bersumber dari Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Aceh.
Diakuinya, selain realiasasi dari hal-hal yang bersifat simbolik seperti bendera daerah, logo daerah dan sebagainya, perlu tindakan nyata menawarkan solusi di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik.
“Angka pengangguran, angka kemiskinan, bayi kurang gizi dan sebagainya terus meningkat. Harusnya, di angka 10 tahun damai Aceh, hal-hal yang miris itu semakin berkurang,” pinta pekerja profesional di Jakarta ini.
ADO mengingatkan, pelaku perdamaian Aceh yang diawali sejak Jeda Kemanusiaan dengan puncak pada CoHA Desember 2002 lalu MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 adalah rangkaian yang bersambung.
Untuk itu, kepada juru runding GAM dan juru runding RI sejak era Presiden Gus Dur dan SBY layak diberikan tempat khusus untuk mengenang upaya mereka mengakhiri pertumpahan darah di Tanoh Endatu.
“Juru runding kedua pihak layak dihadirkan setiap tahun untuk memperingati konflik yang terjadi selama 30 tahun lebih. Namun yang utama, memperhatikan nasib warga sipil yang terimpas konflik dan perlu didengarkan, bagaimana nasib mereka kini,” ajak Teuku Yusra Darma.
Dia mengingatkan agar duet kepemimpinan Abu Doto (Zaini Abdullah) dan Mualem (Muzakir Manaf) bisa kompak dengan saling mengisi. Sudah menjadi rahasia umum, antara gubernur dan wakil gubernur tidak harmonis.
Untuk itu, mereka yang berasal dari satu rahim GAM dapat bersatu untuk kemajuan Bumi Tjoet Njak Dhien dengan melepaskan egoprib adi atau kelompok.
“Rakyat ingin melihat Abu Doto dan Mualem satu kata untuk kepentingan masyarakat. Jadi jangan berharap perdamaian di Aceh bertahan jika antara Aceh 1 dengan Aceh 2 tidak sehaluan. Padahal ketika perang dulu, mereka itu kompak dan retak setelah berdamai,” pungkas Teuku Yusra Darma.
Discussion about this post