BANDA ACEH – Gerakan mahasiswa di Aceh dinilai kian terkotak-kotak. Hal ini akhirnya mengakibatkan perjuangan mahasiswa Aceh tak lagi mendapat respon yang baik dari pemangku kebijakan di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Iskandar Usman Al-Farlaky dalam diskusi publik dan deklarasi akbar yang dilaksanakan oleh koalisi LSM di Rodya Café, Kota Banda Aceh, Selasa 27 Oktober 2015.
Adapun koalisi LSM yang dimaksud seperti Aceh Resource Development, Gen Peace dan Griya Skizofren. Diskusi ini diikuti oleh puluhan aktivis mahasiswa dari berbagai kampus di Aceh Besar dan Banda Aceh.
“Gerakan mahasiswa Aceh kian terkotak-kotak. Tujuannya sama, tapi karena terkotak-kotak tadi, akhirnya mengakibatkan aspirasi yang ingin dicapai tak mampu diwujudkan,” ujar Iskandar Usman.
Sebagai salah satu contoh, kata Iskandar, saat sejumlah mahasiswa diskorsing di Unsyiah, ternyata hal ini ditanggapi biasa oleh aktivis mahasiswa di universitas lainnya. Akhirnya, mahasiswa Unsyiah yang diskorsing hanya berjuang sendiri.
“Nanti jika terjadi di kampus lain juga demikian. Gerakan yang dibangun mudah dipatahkan. Seharusnya mahasiswa membangun sikap yang sama sebagai bentuk solidaritas,” katanya.
Selain itu, kata dia, pergerakan mahasiswa, terutama di Aceh, masih dibangun dengan banyak stigma. Dimana, setiap ada aktivis mahasiswa baru yang muncul bukan untuk didukung bersama-sama, melainkan untuk dijatuhkan oleh rekannya sendiri dan satu organisasi.
“Setiap ada tokoh yang muncul, ada saja alasan sehingga harus diturunkan. Istilahnya, hanjeut na manok agam dua boh (tidak bisa ada ayam jantan dua-red) dalam satu organisasi. Semestinya sikap seperti ini dihilangkan,” kata Iskandar.
Discussion about this post