Hari itu, Sabtu 12 Maret 2016. Matahari pagi menyinari Kota Takengon. Sinarnya menyengat. Dia seakan "membakar" para anak Adam yang lalu lalang di Jalan Sengedo.
Aktivitas warga mulai ramai usai salat Subuh. Beberapa penarik becak terlihat hilir mudik di jalan raya.
Sekitar pukul 07.30 Wib, sejumlah pengguna sepeda motor menambah keramaian di kota. Rata-rata adalah para ibu-ibu yang mengantar anak ke sekolah.
Senyum dan sapa terlihat saat mereka berpas-pasan dengan orang yang dikenal di jalan.
Musik berirama Gayo terdengar dari warung warung makanan.
Sementara aroma kopi membuat para pendatang terpikat.
"Panas Wien?" ujar seorang wanita paruh baya berbusana muslimah. Wanita ini tersenyum hangat.
"Dulu tak sepanas ini. Belakang ini memang sangat terik," ujarnya lagi. Belakangan wanita ini memperkenalkan diri dengan Ipah Musliani.
"Saya sudah lama berjualan di sini. Bantu bantu suami," ujar wanita kelahiran Bireuen ini.
Sejak 1981, Musliani mengaku pindah ke Takengon. "Ikut suami. Suami orang Takengon asli," ujarnya.
Menurut Ipah, Kota Takengon mulai terasa panas usai Tsunami melanda Aceh. "Yang masih dingin itu di kawasan Pondok. Kalau di sini sudah agak panas," ujar ibu tiga anak ini lagi.
Kata Musliani, biarpun mulai panas, warga Gayo tetap hangat menyambut kedatangan para pendatang.
"Untuk keramahan, tetap nomor satu. Saya saja betah berada di sini," ujarnya promosi.
Discussion about this post