PEMBANGUNAN di Aceh rata-rata berdasarkan kepentingan, bukan berdasarkan kebutuhan, sehingga pemerintah tidak fokus untuk membangun atau menyelesaikan suatu permasalahan hingga tuntas.
Kepentingan menyusun pejabat hingga tolak tarik anggaran antara eksekutif dengan legislatif juga menjadi salah satu penghambat pembangunan di Aceh. Belum lagi kepentingan tolak tarik anggaran antara legislatif dengan legislatif, legislatif dengan dinas, dan dinas dengan dinas.
Level Pemerintah Aceh/bupati/wali kota hanya berpikir untuk kepentingan 5 tahun masa jabatannya, jadi setiap pembangunan hanya untuk target 5 tahun saja.
Demikian juga dengan level DPRA dan DPRK juga berpikir untuk kepentingan 5 tahun, bahkan mungkin bisa kurang karena mereka di sana mewakili partai masing-masing dan sewaktu-waktu dapat di lakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) oleh partainya.
Kemudian kepala dinas/ kepala bidang, baik tingkat provinsi maupun kabupaten kota, mereka hanya berpikir paling jauh untuk kepentingan 1 tahun saja. Ini karena mereka sewaktu-waktu atau kapan saja dapat diganti, walaupun baru hanya menjabat selama 3 bulan.
Setiap dinas hanya ada seorang kepala dinas, kesempatan untuk menjadi sebagai Kepala dinas itu sangat terbatas, menjadi perebutan jabatan dan banyak orang bersaing, apalagi dinas yang mengelola banyak uang.
Sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi seorang kepala dinas itu butuh modal besar. Paling tidak harus mengatur “agen jabatan atau para pembisik.”
Oleh karena itu, umumnya mereka hanya berpikir bagaimana memanfaatkan kesempatan yang singkat itu untuk memperoleh keuntungan yang besar, karena belum tentu mereka akan dapat bertahan lama di posisi jabatannya itu. Bahkan mungkin dalam hidupnya ke depan nanti juga belum tentu akan dapat memperoleh jabatan yang sama lagi.
Bagi mereka, kesempatan adalah sebuah mementum yang belum tentu akan terulang lagi.
Karena itu, muncullah cukup banyak proyek-proyek yang nilainya di bawah Rp 200 juta yang pengerjaannya bisa ditunjuk langsung (PL) tanpa harus melalui proses tender.
Walaupun proyek-proyek itu belum tentu sesuatu yang dibutuhkan atau dapat menjawab permasalahan di Aceh saat ini.
Dua Persoalan Utama
Disadari atau tidak, ada dua permasalahan utama di Aceh saat ini adalah Kemiskinan dan Pengangguran. Kalau kedua masalah ini selesai, maka semua permasalahan lainnya juga akan selesai.
Sebenarnya, kalau Pemerintah Aceh mau fokus untuk menyelesaikan kedua permasalahan utama ini sangat mudah, yaitu cukup dengan membuat program pertanian dan peternakan modern terpadu, butuh dana hanya sekitar Rp 20 miliar saja.
Angka yang sangat kecil untuk ukuran Pemerintah Aceh yang APBA-nya setiap tahun mencapai Rp 13 triliun atau hanya butuh 2 orang anggota DPRA yang punya kewenangan dana aspirasi mencapai Rp10 miliar per orang per tahun.
Dengan dana sekitar Rp 20 miliar itu sudah cukup untuk membeli teknologi dari A-Z dan modal kerja dari persiapan lahan hingga panen.
Di Aceh masih tersedia lahan kosong yang sangat luas tidak dimanfaatkan, sehingga menjadi lahan tidur. Kemudian lahan sawah tadah hujan yang hanya digunakan pada musim hujan, ketika musim kering tanah tersebut terbengkalai tidak dimanfaatkan. Padahal sumber air dari sungai juga sangat banyak di Aceh.
Hingga saat ini, lahan tanah sawah hanya difungsikan sangat terbatas untuk tanaman padi, itupun hanya sebagian kecil yang telah tersedia jaringan irigasi.
Sebagian besarnya masih mengandalkan air tadah hujan. Artinya, tanah Sawah itu hanya dimanfaatkan untuk tanaman padi selama 4 bulan dalam setahun, jadi selama 8 bulan dalam setiap tahun sawah itu terbengkalai alias tidak termanfaatkan. Memang ada sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkan lahan pasca-panen padi untuk tanaman lainnya.
Nah, ini sebenarnya sebuah potensi yang sangat besar untuk pertanian, tanah sawah itu dapat juga difungsikan untuk tanaman lainnya seperti jagung, kedelai, tomat, bawang, wortel, kentang, dan lain-lain.
Kemudian di Aceh memiliki ribuan sarjana bidang pertanian dan peternakan. Namun, (maaf) sangat sedikit Sarjana Pertanian dan Peternakan itu yang mau bekerja mengembangkan usaha pertanian dan peternakan, mereka umumnya lebih suka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Walaupun Aceh masih tersedia ribuan hektar lahan kosong yang tidak digunakan dan juga ribuan Sarjana Bidang Pertanian dan Peternakan (mungkin sebagian besar mereka menjadi pengangguran), namun sampai sekarang Aceh masih harus “mengimpor” sebagian besar hasil produk pertanian dan peternakan. Artinya, untuk kebutuhan di Aceh saja masih kurang, konon mau kita ekspor ke luar negeri?
Karena itu, teknologi modern adalah solusi yang tepat. Mesin akan bekerja dari A sampai Z mulai dari proses penyiapan lahan, penanaman, penyiangan, pemupukan, penyiraman, hingga panen dan paska panen. Lahan pertanian dan peternakan dapat diintegrasikan dalam satu kawasan.
Semua teknologi pertanian dan peternakan modern itu sudah diciptakan dan digunakan oleh negara-negara maju, Kita hanya tinggal membeli saja teknologi tersebut. Dengan demikian kita dapat memproduksi hasil pertanian dan peternakan dalam skala besar, sebagaimana juga dilakukan di negara-negara maju, sehingga ke depan Kita tidak perlu lagi bergantung pada pangan impor. Aceh akan mandiri dalam hal pangan.
Dengan menggunakan teknologi modern, maka kita akan hemat tenaga, waktu dan biaya produksi.
Kita juga dapat mengelola lahan-lahan pertanian milik masyarakat, dengan sistem bagi hasil. Petani yang memiliki tanah, mereka tidak perlu lagi bekerja, hanya menunggu masa panen dan bagi hasil.
Kemudian, pengangguran Kita berikan pekerjaan yang ringan-ringan, seperti memanen tomat, bawang, jagung, mengupas kulit jagung muda, memungut, membersihkan dan sortir buah kentang, wortel, tomat, bawang yang telah dipanen oleh mesin, hingga melakukan packaging, distribusi dan sebagainya.
Dengan demikian, maka tidak ada lagi yang namanya Kemiskinan dan Pengangguran di Aceh, karena semua orang akan punya pekerjaan, tidak ada yang menganggur kecuali orang-orang malas.
Jadi, biarkan mesin saja yang bekerja dalam lumpur, hujan, panas matahari dan bau sawah.
Angkat harkat dan martabat petani. Kalau petani sudah hidup makmur, berarti semua rakyat akan hidup makmur.
Penulis adalah Syardani M. Syarif atau Teungku Jamaika.
Discussion about this post