HARUS kalian ketahui kedai kopi favoritku untuk bercerita. Hari itu, aku sengaja tidak menolak berdiskusi di kedai kopi yang sama. Kebiasaan aku melihat diskusi dalam keadaan berantakan, sebagian orang mudah saja bicara perihal yang tak ia pahami, dan itu berkali-kali terjadi. Aku memutuskan tak banyak bicara.
Setelah itu aku akan mengerutkan kening dan mengatakan bahwa aku tak begitu mengerti. Aku pikir, memang seharusnya tak perlu berkomentar. Sebenarnya orang-orang suka menawari diri bicara berantakan.
Seorang teman, ia dosen, mengeluarkan wacana diskusi soal postingan surat terbuka seorang mahasiswi kepada seorang dosen di Facebook. Setelah itu perseteruan hebatpun akhirnya menjadi masalah. Orang-orang yang merasa murah hati menggambarkan suasana yang kejam, seraya mengolok-olok.
Dua teman lain berbicara dengan nada pahit, karena masing-masing dari mereka tahu bahwa akan memakan waktu cukup lama bercerita soal itu. Mendadak diantara kami berpendapat permasalahan itu datang terlebih dahulu dari dosen. Kejadian itu menjadi tak penting lagi dibincangkan menurutku ketika bicara soal moral.
Untung saja, akhirnya ketiga temanku berhenti melepaskan diri dari jeratan-jeratan pekara yang menimpa mahasiswi itu.
Aku membataskan pekara tersebut dari sudut pandang pemberitaan media. Kupikirkan ini akan lebih menarik, dari pada mengatur moral orang lain.
Orang-orang mulai angkat bicara, ketika Edi Fadhil memposting foto ia dengan memegang selembar kertas bertuliskan “#Save Nanda Feriana”. Di postingan itu, Edi menulis narasi, ia mengenal Nanda. Ia berempati masalah yang menimpa Nanda gegara surat terbuka, ditanggapi seorang dosen yang merasa dicermarkan nama baik ia, akhirnya Nanda diperkarakan dosen itu.
Kemudian postingan Facebook Edi Fadhil dikutib salah satu media online. Setelah itu, semua pembaca angkat suara. Pada saat media online itu, terburu-buru menyimpulkan kebenaran sehari, tak akan ada yang bisa menghentikan pembaca menerobos pekara moral.
Hanya ada satu sebab pemberitaan soal Nanda versus Dosen terus-terusan dibicarakan. Media mencoba menghindari merekam satu rool film.
Aku mulai berpikir serius soal jurnalisme setelah mengenal dekat Linda Christanty. Kemurahan hati Linda berbagi pemahaman jurnalisme, telah membuatku tertarik membaca dua buku populer karangan Bill Kovach dan Tom Resenstiel: Sembilan Elemen Jurnalisme dan Blur.
Media online yang menjadikan Edi sebagai narasumber utama dalam pemberitaan tersebut menyangkut pekara Nanda versus Dosen, membuat penampilan aku seperti pembaca buruk dan kacau. Aku mulai berpikir bahwa orang-orang yang sudah dianggap publik figure, akan lebih mudah diterima sebagai narasumber berita, ketimbang orang yang berada di lingkaran pertama dalam pekara itu.
Semua orang akan menggosipkan dosen tersebut, gegara media online itu, mungkin menurutku sekedar bertingkah dan berdoa agar dosen tersebut ada kemurahan hati menghubungi redaksi media.
Selama beberapa jam ke depan setelah berita itu diposting, Nanda versus Dosen menjadi trending topic di media sosial. Ada beberapa orang yang kulihat mulai memposting foto dirinya dan memegang kertas bertuliskan #Save Nanda Feriana.
Ketika itu, aku tidak kut-ikutan seperti mereka. Mereka bergerak cepat meniru postingan Edi Fadhil. Aku berusaha tidak mengedipkan mata untuk melihat seharusnya ada satu orang lagi narasumber utama dilingkaran pertama yang tak boleh diabaikan media yang pertama kali memberitakan itu, yakni: Dwi Fitria, dosen yang bersangkutan.
Kehadiran Edi sebagai narasumber utama, apa lagi bicara isu berita segenting itu menurutku sama sekali tidak tepat. Ia sama sekali tidak berada dalam lingkaran peristiwa berita itu. Media seolah-olah beranggapan sebuah fakta yang diungkapkan Edi menjadi kebenaran.
Di dalam ulasan buku Blur, para wartawan haruslah bukan hanya seorang pencatat, wartawan punya tanggung jawab mengejar fakta untuk membangun bukti empiris, bukan menerima perkataan orang lain dari sumber ke dua.
Jika semua media, menjadikan sumber ke dua berada dilingkaran pertama peristiwa, penilaian kita terhadap konsep mencari kebenaran akan keruh dari waktu ke waktu, dan para wartawan akan berkembang dengan metode liputan praktik clerkism atau jurnalisme menduga-duga.
Penulis: Jufrizal, M.A. Dosen Prodi Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang
Discussion about this post