ENTAH apa yang terjadi di Aceh belakangan ini. Nilai sebuah KTP seakan lebih berharga dari nyawa manusia dan wibawa seorang menteri yang datang dari Jakarta.
Kesan inilah yang tertangkap saat kita membaca media massa, terutama media online belakangan ini.
Sepekan terakhir ada beberapa isu yang menurut penulis saling berhubungan.
Pertama, gerak Gubernur Zaini bersama sejumlah kepala dinas yang melakukan safari politik di sejumlah kabupaten kota di Aceh. Di setiap kabupaten kota yang disinggahi selalu ada pengumpulan KTP sebagai syarat bagi Zaini Abdullah untuk maju melalui jalur independen.
Pengumpulan KTP untuk Zaini Abdullah ini juga sempat muncul berita di situs resmi pemerintah Aceh. Ini mungkin sikap abai dari Kepala Biro Humas Aceh yang secara tak sadar ikut tergiring kepentingan politik penguasa.
Namun kesan yang terlihat, Biro Humas Setda Aceh telah bekerja untuk pemenangan Zaini Abdullah sebagai calon gubernur di pilkada 2017.
Kedua, keikutsertaan 5 kepala SKPA dalam acara temu relawan Zaini Abdullah di Aceh Tenggara. Sikap ini bertentangan dengan undang-undang yang mengharuskan PNS netral dalam politik.
Sebenarnya, informasi yang diperoleh penulis, jumlah kepala SKPA yang hadir pada temu relawan Zaini Abdullah melebihi jumlah yang diberitakan media online.
Ada Kepala ULP Nuchalis serta beberapa lainnya. Namun nama tersebut luput dari sorotan media massa.
Sikap kepala SKPA yang gotong royong mencari KTP demi Zaini Abdullah jelas sebuah perilaku yang sangat buruk. Dimana, fakta integritas yang selama ini dibacakan saat pelantikan pejabat pemerintahan Aceh hanyalah formalitas belaka yang tanpa dilanjutkan dengan implementasi di lapangan.
Ketiga, pada saat yang bersama juga berkunjung Menteri Industri, Saleh Husin, ke Banda Banda Aceh. Biasanya, kedatangan pejabat dari pusat, akan mendapat sambutan hangat dari Kepala pemerintah Aceh.
Namun yang terjadi kemarin justru sebaliknya. Menteri Saleh hanya disambut oleh asisten, Muzakkar. Ini tentu sebuah pelecehan bagi sang menteri.
Dimana, Gubernur Zaini ternyata lebih mementingkan safari politik daripada menyambut kedatangan Menteri Industri.
Jika informasi ini diketahui oleh sang menteri, maka tentu akan memperburuk hubungan antara Aceh dan Jakarta. Ini agar mengganggu pembangunan di Aceh.
Ke empat, adanya informasi bahwa kepala SKPA dijadikan mencari KTP sebanyak 25 ribu per orang. Informasi ini kemudian dibantah oleh Humas.
Namun jika ini benar, maka Kepala SKPA saat ini sedang memainkan politik kelas tinggi. Dimana, mereka telah terjun bebas dalam pusaran politik serta susah untuk dinasehati.
Kejadian ini sebenarnya pernah terjadi pada pemerintahan Irwandi sebelumnya. Sejumlah kepala SKPA secara terang terangan hadir dalam kegiatan politik gubernur masa itu.
Ketika Irwandi gagal, pemerintah yang baru kemudian menggantikan mereka dengan sosok pejabat yang baru.
Ketika penguasa saat ini kembali melakukan hal yang sama, maka dikhawatirkan hal serupa akan kembali terjadi nantinya. Imbasnya, pembangunan Aceh yang tercantum dalam RPJP akan terganggu.
Pemerintahan yang baru hanya akan sibuk dengan gonta-ganti pejabat. Namun calon yang dipilih pun berasal dari lumpur yang sama. Mereka yang pernah terlibat politik pemerintahan sebelumnya. Mereka yang abai akan kepentingan rakyat dan sibuk dengan kepentingan politik.
Kepala SKPA yang cenderung menjaga kepentingan penguasa dibandingkan kepentingan rakyat.
Kelima, di saat kepala SKPA sibuk berpolitik, ibu dan anak justru meninggal dunia di RSIA Banda Aceh karena ditelantarkan. Ini tamparan keras bagi pejabat Aceh.
Di saat mereka sibuk dengan KTP, mereka lupa dengan tugas utama yang diembankan, yaitu pelayan masyarakat. Kondisi miris ini terjadi tak berselang lama dari jadwal safari politik Gubernur Zaini.
Saat membaca berita yang ada, penulis sebenarnya berharap adanya tekanan kuat dari penguasa kepada rumah sakit plat merah itu agar konflik internal tak mempengaruhi pelayanan.
Namun pernyataan tersebut ternyata tak pernah ada. Penulis malah membaca berita pengumpulan KTP yang datang dari Pase untuk Gubernur Zaini.
Jika ini marketing politik yang sedang dijalankan oleh tim sukses Zaini Abdullah yang ingin menunjukkan bahwa para pihak yang mendukung sosok itu, maka ini merupakan marketing politik yang salah dan buruk.
Gubernur seharusnya kembali pada tugas awal mengapa dia mencalonkan diri sebagai pemimpin di Aceh yaitu memberi pelayanan yang baik bagi seluruh masyarakat Aceh. Jangan sampai negeri ini berupa menjadi negeri KTP. Dimana, setiap hari kita disajikan berita bahwa gubernur sedang berburu KTP guna melengkapi syarat untuk maju di jalur independen.
Penulis Mustafa, warga Aceh Jaya yang kini menetap di Aceh Besar.
Discussion about this post