”SIAPA yang lari ke gunung berarti GAM!”
Pada medio tahun 2003, pernyataan itu sering dilontarkan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) setiap kali mereka melakukan operasi atau sekedar patroli ke Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan.
Bagi penduduk setempat, kata-kata itu menjadi semacam ancaman yang mengkhawatirkan, sekaligus pernyataan yang melegakan. Khawatir, karena siapa yang lari ke hutan berarti anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Namun sedikit melegakan, jika tak ingin dituduh sebagai GAM, maka jangan lari ke hutan. Tetap di kampung.
Karena itu, ketika Jumat malam tanggal 16 Mei 2003, dari kejauhan terdengar rentetan salak senjata sejak pukul 22:00 WIB hingga beberapa jam lamanya, warga tak menaruh firasat apa-apa. Mereka berdiam diri di rumah, tak perduli sebab musabab rentetan senjata itu.
Warga juga tak akan menyangka, jika keesokan harinya akan menjadi saat yang paling memilukan dalam hidup. 16 orang meninggal, 12 di antaranya dibakar hidup-hidup, tiga rumah hangus.
“Sembilan orang termasuk famili saya,” kata SB, 25 tahun, salah seorang keluarga korban yang ditemui di Saree School, Aceh Besar.
Saat itu SB sedang mengikuti training Penulisan bagi Korban Konflik Aceh. SB dan sepupunya, N, 29 tahun, mewakili korban dari Jamboe Keupok, Aceh Selatan.
Desa Jamboe Keupok berada 12 kilometer dari Ibu Kota Kecamatan, Bakongan. Letaknya di ujung perkampungan. Setelah desa ini, yang ditemui hanya areal pegunungan. Dengan luas dua kilometer persegi, Jamboe Keupok memiliki empat dusun, Keude Tuha, Hilir, Seneubok Pareh, dan Dusun Tengah.
SB menceritakan kisah pilu yang menimpa keluarganya itu. SB memang tak mengalami langsung peristiwa tersebut, namun semua yang diceritakan SB dibenarkan oleh N. Selain orang tua, N juga kehilangan suami tercinta. Ia melihat langsung peristiwa itu.
N tak mampu untuk bertutur mengenai tragedy memilukan itu. Di Hadapan kami, Setiap kali mengingat peristiwa yang telah berlalu bertahun lamanya itu, air matanya berderai tak tertahan.
Ceritanya begini.
Pagi hari, Sabtu, tanggal tanggal 17 Mei 2003, atau dua hari sebelum Aceh ditetapkan sebagai daerah Darurat Militer (DM). Seperti hari-hari sebelumnya, saat itu, warga bersiap mengawali aktivitas.
Ayah SB sudah tiba di sebuah warung kopi yang tak jauh dari rumah. Ia membawa serta kitab suci Al Quran. Rencananya, bersama beberapa rekan yang lain, usai menikmati kopi ia akan menuju ke balai pengajian.
Jelang pukul 07.30 WIB. Rencana ayah SB untuk mengikuti pengajian terpaksa urung. Pasalnya, anggota TNI sudah berada di setiap sudut desa. “Sebenarnya mereka sudah masuk sejak pukul 06.00 WIB,” kata SB. Namun tidak ada pergerakan apa-apa hingga menjelang pukul 07.30 WIB.
“Mereka datang menggunakan tiga reo, TNI Parako,” kata SB.
Saat itu, entah kapan dan dari mana munculnya, tibatiba saja puluhan anggota TNI sudah berada di setiap rumah-rumah penduduk. Mereka berjaga, di bagian depan dan belakang. Warga tak bisa berkutik. Termasuk Ayah SB dan beberapa rekannya yang lain. “Hanya bisa duduk diam di tempat,” kata SB.
Sesaat kemudian, terdengar suara deru mobil memasuki dusun. ”Seperti mobil pelontar,” kata SB.
Bersamaan dengan suara deru mobil tersebut, pelaku yang sudah bersiap di setiap rumah penduduk mulai bergerak. Mereka masuk ke dalam rumah, memeriksa isi rumah, dan memaksa keluar setiap orang yang berada di dalam.
Lelaki, perempuan, tua, muda, semua digiring ke luar, lalu dikumpulkan di sebuah tempat. Kelompok lelaki dipisah dari kaum perempuan dan anak-anak. Mereka ditempatkan di depan sebuah rumah berkontruksi papan. Lalu, tanpa pandang bulu, para lelaki dipukuli habis-habisan.
Tak tahan melihat suami mereka disiksa, beberapa perempuan berteriak histeris. Salah seorang perempuan yang suaminya ikut disiksa hari itu nekat untuk menolong. Bersama dengan seorang anaknya, ia menerobos kawalan pelaku saat melihat sang suami terjerambab. Ia berusaha menarik suaminya, menjerit dan meronta sekuat tenaga.
”Dor…!” sebutir peluru bersarang di kakinya. Ia tak bisa berkutik lagi. Pelaku menyeretnya kembali ke kumpulan perempuan. Bersama para perempuan lainnya, ia dimasukkan ke dalam sebuah rumah.
Di luar, penyiksaan terhadap suami mereka terus berlanjut. Dari dalam rumah, salah seorang perempuan mencoba mencuri pandang. Ia menyaksikan para pelaku memukuli kelompok lelaki yang berada di luar sana. Saat itu, tiba-tiba melintas salah seorang penduduk lain menggunakan sepeda motor.
Pelaku langsung melepaskan tembakan, tepat di kepala lelaki naas tersebut.
Melihat kejadian itu, spontan saja perempuan yang mengintip dari dalam rumah menjerit histeris. Mendengar jeritan itu, pelaku berang, mereka kemudian melepaskan tembakan ke arah rumah.
Beruntung tidak ada yang terluka.
Lalu para perempuan itu diperintahkan ke luar. Di antara mereka, terdapat seorang lelaki yang tak lain adalah suami N. Saat pelaku memeriksa ke dalam rumah ketika pertama datang, ia berhasil bersembunyi. Namun karena merasa takut saat pelaku memberondong rumah tersebut, ia memutuskan ikut ke luar bersama para perempuan.
“Padahal kalau di dalam rumah saja mereka (pelaku) tidak tahu. Sampai di luar dia dikumpulkan bersama lelaki lainnya,” kata SB.
Setiba di luar, perempuan dan anak-anak kemudian digiring ke dalam rumah sekolah yang tak jauh dari lokasi awal.
Bagi mereka, hari itu, waktu seolah berjalan lambat. Di bawah rentetan suara senjata yang tak henti-henti, warga terus saja merapal segala macam munajat, berharap kengerian itu segera berakhir.
Dikurung di dalam gedung sekolah, para perempuan itu tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak tahu lagi apa yang terjadi pada suami dan sanak saudara lelaki yang masih dalam pengawasan para pelaku. Yang terdengar hanya suara rintih dan rentetan tembakan.
Tak berapa lama kemudian, 12 orang lelaki tersebut dimasukkan ke dalam rumah yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Sama seperti para perempuan tadi, mereka dikurung dari luar.
“Lalu rumah itu dibakar,” kata SB lirih.[] Bersambung..
Sumber: Dari buku, Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005. Penulis: Qahar Muzakar dan Mellyan. Diterbitkan oleh Koalisi NGO HAM Aceh, Cetakan Pertama, Maret 2011.
Discussion about this post