HAMPIR satu bulan aku berada di Krueng Mane, komunikasiku dengan para petinggi GAM di Pase kembali tersambung.
Seperti dugaanku, mereka tidak menerima sambungan telepon saat aku hubungi karena nomor tersebut tak terdaftar di handphone mereka.
Dalam GAM, kehati-hatian serta ketelitian sangatlah penting. Kecerobohan biasanya akan berakhir dengan kehilangan nyawa.
Berkat bantuan Geuchik Rasyidin dan Umar Arab, aku kembali terhubung dengan pasukan Pase.
"Kenapa tak menggunakan nomor sebelumnya?" ujar Apa Syam kepadaku saat menghubunginya.
"Nomor sebelumnya disadap Apa. Nomorku pernah kupakai untuk berkomunikasi dengan penghubung di luar negeri. Nomorku juga pernah kupakai untuk menghubungi petinggi di Swedia," ujarku.
Apa yang kukatakan memang benar adanya. Sebelum darurat militer diterapkan, nomor handphone milik Bang Yan atau Sofyan Dawood, memang pernah diblokir atas perintah Pangkoops Bambang Darmono.
Saat itu tugas Bang Yan berkomunikasi dengan pimpinan dan penghubung di luar negeri untuk sementara waktu dialihkan kepadaku.
Hal inilah yang mungkin menyebabkan nomor handphone yang satunya lagi disadap.
"Oke, Pakwa. Aku akan mencari jalan agar kamu bisa segera bergabung. Namun hingga keadaan benar benar aman, kamu bertahan dulu di Krueng Mane," ujar Apa Syam.
Pembicaraanku dengan Apa Syam membuatku lebih tenang. Namun hingga dua pekan kemudian, sosok itu tak juga memberi kabar.
Aku akhirnya memutuskan untuk tetap kembali ke pasukan. Berdasarkan informasi yang kuperoleh dari penghubung, pasukan D1 Pase beberapa hari terakhir sering terlihat di kawasan Ujong Pacu.
Aku kemudian meminta Papi dan Hamdani untuk mengantarku ke sana.
Dengan menggunakan mobil kijang milik Papi, kami kemudian mengarah ke Ujong Pacu.
Papi menyetir dan Hamdani duduk di sisi kirinya. Sedangkan aku memilih duduk di belakang sopir.
Arus kendaraan dari Krueng Mane menuju simpang empat Krueng Geukuh relatif sepi. Hanya satu dua mobil penumpang yang lewat.
Dari Krueng Geukuh, kami kemudian menuju Ujong Pacu.
Jarak antara Ujong Pacu dengan Krueng Mane hanya ditempuh dalam waktu puluhan menit.
Sekitar dua kilometer sebelum tiba di Ujong Pacu, laju mobil yang kami tumpangi melamban. Aku juga sempat menghentikan pengendara RBT untuk menanyakan kondisi di daerah itu.
"Sejauh saya lewati tadi aman. Tidak ada TNI," kata pria pengendara RBT tadi.
Aku menarik nafas lega. Penjelasan tukang RBT tadi membuatku lebih tenang karena tak ada hambatan untuk menuju ke lokasi pasukan Apa Syam.
Namun baru beberapa meter kami memasuki Ujong Pacu, belasan pria memakai baju loreng menghentikan laju mobil kami.
Wajah Papi pucat. Demikian juga dengan aku.
Aku menghitung jumlah TNI yang berada di sana. Setidaknya ada belasan TNI di depan mobil kami. Kemudian dari arah semak-semak juga terhitung lebih dari dua puluh orang.
"Mati aku," gumamku dalam hati.
"Hey. Kalian menepi, menepi dulu," ujar seorang TNI. Dia masih muda tapi perawakannya terlihat sangat.
"Turunkan kaca. Turunkan kaca," teriak seorang TNI lainnya dari arah kanan. Dia memukul kaca kuat kuat.
Papi terlihat panik. Dalam sekejap sejumlah personil TNI mulai mengitari mobil kami.
Hamdani memberi isyarat agar aku dan Papi tak panik. Sedangkan aku mulai meraba pistol FN milikku yang kuselipkan di pinggang.
"Mungkin ini hari terakhirku bersama kalian," ujarku pada Hamdani dan Papi. Perkataanku ini membuat Papi kian pucat.
"Ya Tuhan. Kalau aku memang tak berguna lagi bagi perjuangan ini, aku iklas mati disini. Tapi kalau aku masih berguna, tolong selamatkanlah," gumamku dalam hati. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post