MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menilai proyek pembangunan wisata Sabang sarat dengan masalah hukum terkait lingkungan hidup.
Direktur WALHI Aceh, Muhammad Nur mengatakan, secara umum dokumen Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) masih terjadi copy paste terkait pengelolaan.
“Padahal lokasi proyek ada di empat lokasi berbeda, yaitu Marina Lhok Weng, Pulau Rubiah, Ecotourism Track, dan Teupin Layeu, tentu akan berdampak berbeda pula mengingat wilayah yang digunakan untuk proyek wisata ini adalah kawasan hutan lindung,” kata Muhammad Nur kepada mediaaceh.co, Senin, 11 Januari 2015.
Muhammad Nur menambahkan, konservasi berdasarkan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Qanun 19 Tahun 2013-2033, sehinga Pemrakarsa penyusun dokumen Amdal tidak menjadikan Qanun RTRW provinsi sebagai acuan pembangunan.
“Oleh karenanya kami menyimpulkan proyek ini bagian dari pelanggaran UU tata ruang,” ujarnya.
Menurutnya, lokasi proyek sudah dilakukan pekerjaan mencapai 30 persen, melalui sidang komisi beberapa waktu yang lalu sudah diminta oleh seluruh komisi untuk dikeluarkan dari dokumen Amdal.
“Nyatanya hasil perbaikan masih saja menjadi acuan dalam Amdal, sehingga masih dikatakan terjadi masalah hukum lingkungan,” ungkap Direktur Walhi tersebut.
Dia menjelaskan, pembangunan ecotourism track di kawasan Taman Wisata Alam sesuai dengan ketentuan tidak merubah karakteristik bentang alam atau menghilangkan fungsi utamanya, namun maksud fungsi utama tersebut tidak dijelaskan sehingga menyebabkan ambigu.
Tidak hanya itu ketentuan yang berikutnya yaitu tidak menutup/menghilangkan jalur lalu lintas tradisional masyarakat kecuali dengan persetujuan masyarakat, namun tidak dijelaskan lebih lanjut pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam menangani hal tersebut.
“Kami menilai Amdal yang disusun oleh BPKS sebagai pemilik proyek hanya untuk memenuhi syarat izin lingkungan saja, begitu izin lingkungan terbit Dokumen Amdal tidak dijadikan acuan dalam pembangunan,” ujarnya.
Oleh karenanya, pihaknya meminta pemerintah Aceh untuk tidak menerbitkan izin lingkungan sebelum perbaikan dokumen dilakukan dengan benar, dimana lokasi tidak mencerminkan wilayah rentang bencana disebabkan BPBA atau BPBD tidak dianggap sebagai lembaga penting mendiskudi hal ini, padahal bencana menjadi beban bersama kemudian hari.
“Jika masukan WALHI Aceh tidak menjadi acuan dalam pembangunan, pemerintah tetap menerbitkan izin lingkungan sebelum perbaikan Amdal dilakukan, tentu kami akan pidanakan BPKS sebagai pemilik proyek dalam waktu dekat,” ujarnya.[]
Discussion about this post