BENTROKAN berdarah Singkil beberapa waktu lalu jadi perhatian khusus sejumlah media internasional. Para pihak menyudutkan Aceh yang dinilai tidak baik dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Hal ini pula yang menyebabkan tim dari Komisi 1 DPR Aceh untuk turun ke Singkil guna mengetahui akar persoalan. Apa yang didapatkan tim di lapangan? Apa akar persoalan sebenarnya?
Berikut wawancara Ketua Komisi 1 DPR Aceh, Abdullah Saleh, kepada wartawan mediaaceh.co, di Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Minggu 25 Oktober 2015.
Tim dari Komisi I DPR Aceh telah turun ke Singkil usai bentrokan. Apa yang didapat?
Ya benar. Kita turun ke Singkil, yang pertama untuk mengetahui langsung apa sebenarnya yang terjadi di sana. Kedua, kita ingin berkomunikasi langsung dengan Forkopimkab di sana. Kita ingin mendengar penjelasan dari berbagai pihak di sana.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Setelah mendengar penjelasan tentang permasalahan yang terjadi, ternyata persoalan yang mendasar adalah factor pendirian gereja dari tahun 1979. Waktu itu yang disepakati di Singkil itu, 5 di daratan dan 1 di pulau, kawasan Kepulauan Banyak.
Tahun 1979 ini sudah pernah dipersoalan, kasusnya seperti saat ini. Tahun 1979 ada protes dari umat Islam dan saat itu diminta untuk ditertibkan. Ada kesepakatan dengan pemerintah saat itu, namun dalam perjalanan tidak dilaksanakan. Ini terjadi hingga muncul konflik terbaru. Malah sekarang ada pembangunan rumah ibadah terbaru. Terakhir rumah ibadahnya sudah mencapai 23 unit.
Yang awalnya kan undung-undung, kalau istilah kita ini seperti meunasah. Undung-undung ini menjadi gereja. Ini kemudian terjadi protes, tetapi protes ini masih melalui pemerintah.
Yang terakhir ini, Pemkab nya sudah melakukan upaya koordinasi di tingkat pimpinan kabupaten serta berbagai pihak. Akhirnya disepakati dari 23 unit rumah ibadah tadi, yang ada izinkan 6 unit. Jadi 17 ini yang tidak ada izin. Masyarakat menginginkan yang tidak ada izin ini dibongkar, tapi pimpinan daerah menimbang bahwa memang ada peningkatan jumlah penganut agama tadi dibandingkan tahun 1979. Ada penambahan jumlah penganut mereka. Kan dengan demikian, maka mereka perlu juga penambahan rumah ibadah!
Jadi dari 17 itu disepakati (tak berizin-red), 10 harus dibongkar dan tinggal 7 unit. 7 unit ini pun harus segera di urus izin serta syarat lainnya. Ini sudah ada kesepakatan, kalau tidak salah saya, pada 12 Oktober lalu. Sedangkan masalah pembongkaran disepakati pada 19 Oktober 2015.
Tapi bentrokan kemudian tetap terjadi, kenapa?
Ya, memang awalnya keputusan yang diambil Forkopimkab Singkil ini ditulis serta dibuat dalam bentuk pengumuman untuk disebarkan ke masyarakat. Tetapi, masyarakat kita ini sepertinya memang tidak percaya lagi. Mungkin mereka khawatir seperti kasus-kasus sebelumnya, seperti 1979 terulang.
Dimana protes-protes sebelumnya tak pernah ditindaklanjuti. Bukan masa bupati sekarang, tapi bupati sebelum-sebelumnya.
Masa masa bupati sebelumnya, sebenarnya protes ini sudah disampaikan. Jadi akhirnya, masyarakat pun sudah tidak percaya biarpun sudah ada kesepakatan tadi.
Besoknya di tanggal 13 (Oktober-red) bentrokan itupun terjadi.
Bagaimana penanganan usai bentrokan terjadi?
Setelahnya memang semua pihak turun ke sana, seperti kepolisian didukung TNI. Pangdam dan Kapolda berkantor di sana. Saat keadaan normal, para pihak tadi terus menyelesaikan persoalan.
Jadi ini yang diceritakan kepada kita. Saat kita turun kita menilai ini sudah ada solusinya. Jadi kita mendukung dan kita meminta semua pihak untuk bersikap tegas, terutama untuk mengeksekusi keputusan bersama tadi.
Secara hukum kami menjelaskan bahwa pemerintah Singkil memiliki kewenangan untuk memproses bangunan bangunan illegal yang tak memiliki izin, seperti penertiban pasal misalnya. Pemkab bisa melakukan dengan Satpol PP di depan. Otoritas ini yang harus dilaksanakan.
Kita secara gamblang menjelaskan bilang otoritas ini dijalankan, pemerintah Singkil cukup menugaskan Satpol PP. Di Pemkab lain juga melakukan itu.
Itulah yang kita temui di sana dan kita mendukung kebijakan Pemkab di sana. Kita juga menjelaskan ke masyarakat bahwa langkah yang ditempuh sudah benar, tepat serta patut mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Pasca kasus Singkil kemudian dilanjutkan dengan informasi terbakar gereja di Sabang. Apa Anda melihat ada pihak yang bermain untuk meciptakan konlik beragama di Aceh?
Saya tidak bisa memastikan, persoalan pembakaran gereja di Sabang yang tidak sempat terbakar, bisa saja ini ada pihak yang ingin memperkeruh suasana.
Ingin, apa namanya, adu domba. Tapi memang ada juga kemungkinan, adanya reaksi dari masyarakat yang tidak puas dengan pendirian gereja di Aceh. Ketidakpuasan inikan bisa dengan macam-macam.
Kita tidak bisa memastikan motifnya apa. Tapi secara umum, saya melihat, pemerintah kita harus tegas dari awal. Kalau memang tidak ada izin ya harus ditindak. Sehingga kasus serupa tidak lagi terjadi di kemudian hari.
Pemerintah Aceh sudah memiliki qanun terkait hal ini?
Kalau qanun masih dalam proses. Sedang digondok. Kita berharap akhir Desember nanti bisa diparipurnakan. Tinggal disahkan lah.
Jadi acuan pendirian rumah ibadah masih melalui Pergub?
Ya, Pergub. Tapi landasan hukumnya adalah UUPA. Pasal 127 menegaskan pendirian rumah ibadah di Aceh, harus ada izin dari Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten kota. Inikan undang-undang atau aturan yang berada di bawah UUD. Ini posisinya sangat kuat.
Ada tidak tekanan dari pihak luar untuk Pemerintah Aceh terkait kasus Singkil?
Tidak ada. Kalau Komisi I saya tidak merasakan. Yang menyorot itu kan rata-rata media luar. Pemerintah juga bersikap tegas, mencari solusi serta menyelesaikan.
Kapolda dan Pangdam juga berkantor di Singkil agar persoalan tadi bisa diredam. Jadi kita apresiasi lah kerja sama semua pihak untuk menyelesaikan kasus ini.
Discussion about this post