MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN) mendesak agar Plt. Gubernur Aceh dan Wali Nanggroe segera menyelesaikan polemik PT EMM di Beutong Ateuh.
“Menolak PT EMM bukan berarti masyarakat Aceh anti dengan investor terhadap kemajuan perekonomian. Akan tetapi, karena penerbitan izin PT EMM tidak sesuai prosedur,” kata Sekretaris Jenderal KMPAN, Fadhli Espece, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 30 Maret 2019.
Menurutnya ada beberapa alasan untuk ditolaknya kehadiran PT EMM DI Beutong Ateuh. Pertama, izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017 bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kedua, SK BKPM Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 itu diberikan izin 10.000 Ha. Lokasi izin berada di Area Penggunaan Lain (APL) seluas 2.779 Ha, Hutan Lindung 4.709 Ha. Wilayah usaha terletak dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) seluas 2.478 Ha yang terdiri dari APL 1.205 Ha dan HL 1.273 Ha.
Lokasi pertambangan emas PT. EMM berada di 2 (dua) kecamatan, yaitu Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah. Sedangkan dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Kabupaten Nagan Raya, luas PT EMM hanya 3.620 Ha.
Berbagai elemen masyarakat di Aceh juga menolak kehadiran PT EMM di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah itu karena merugikan Aceh. Selain itu, mengenai polemik PT EMM ini juga seharusnya Wali Nanggroe turun tangan dalam mengatasi permasalahan ini, sesuai dengan Qanun Aceh nomor 9 tahun 2013 dalam pasal 2 dan pasal 3 tentang prinsip dan tujuan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe.
Wali Nanggroe harus menjadi penengah dalam menyelesaikan polemik PT EMM antara pemerintah dan masyarakat Aceh. Akan tetapi, belum terlihat tindakan apapun yang dilakukan oleh Wali Nanggroe saat ini dalam menyelesaikan polemik ini.
“Kita berharap Wali Nanggroe segera menunjukkan taringnya agar tidak ada lagi yang mempertanyakan kinerja Wali Nanggroe serta dapat menghapus stigma bahwa lembaga tersbeut hanya menghambur-hamburkan anggaran rakyat,” ujar Fadhli Espece.
Apalagi lokasi tambang PT EMM berada di area Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) serta sejumlah situs bersejarah terutama makam ulama setempat.
“Hal ini tentu akan berdampak bagi lingkungan serta akan sangat merugikan Aceh dengan hancurnya situs sejarah dan makam ulama oleh kehadiran PT EMM,” sebutnya.
Jika polemik PT EMM ini tidak diperhatikan oleh pemimpin Aceh saat ini, kata Fadhli Espece, maka berpeluang terjadinya konflik di dalam masyarakat.
“Apalagi, akhir-akhir ini telah banyak sikap penolakan yang disampaikan oleh banyak pihak terkait hal ini,” katanya.[]
Discussion about this post