MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Tuntutan merdeka muncul di Papua dan Aceh. Daerah paling barat dan paling timur Indonesia itu ternyata paling miskin, meskipun menyumbang GDP besar untuk Indonesia. Hal itulah yang dihadapi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia.
Permasalahannya tidak berhenti di situ. Gus Dur juga harus menyelesaikan warisan masa lalu di saat militer dan politisi sedang frustasi karena kegagalannya dalam menyelesaikan konflik di Timor Timur.
“Masih bertahan warisan sistemik orde baru, seperti militer, partai, antioposisi, pembungkaman, antidialog terhadap ekstremisme dan separatisme,” kata Ahmad Suaedy, penulis buku Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka, saat diskusi bukunya di Griya Gus Dur, Jalan Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Jakarta, Rabu 23 Januari 2019.
Lebih dari itu, di dua wilayah tersebut, jelas Suaedy, ada kontrol dan penghancuran masyarakat sipil dan kontrol budaya. Hal itu berdampak pada tumbuhnya nasionalisme lokal.
Belum lagi, lanjutnya, adanya eksplorasi sumber daya alam berupa minyak dan gas sejak 1976, tetapi tidak diiringi dengan adanya sekolah teknologi di sana.
“Ada bukti bahwa meskipun eksplorasi minyak dan gas dimulai pada tahun 1976, belum ada sekolah tentang teknologi yang memberi dukungan terhadap industrialisasi itu,” kata pengajar di Pascasarjana Universitas Nahdlatul Indonesia (Unusia) Jakarta itu.
Hal itu justru membuang masyarakat lokal dari proses industrialisasi itu. Mereka tidak menikmati pertumbuhan dan perkembangan wilayahnya.
Melihat hal itu, Gus Dur melakukan penyetaraan kewarganegaraan. Ia tidak membedakan Aceh dan Papua dengan suku lainnya. Suaedy menyebut hal itu sebagai kewargaan bineka. Ia pun mengembalikan nama Papua dan menjadikan GAM sebagai mitra dialog.
Gus Dur juga melakukan langkah penghormatan terhadap masyarakat di dua wilayah tersebut. Hal itu dengan adanya jaminan keamanan dan jaminan berpendapat. Keinginan merdeka di mata Gus Dur tidak bisa dilarang. Mereka juga dipersilakan oleh Gus Dur untuk berdiskusi.
“Yang tidak boleh adalah mendeklarasikan dan menggerakkan mobilisasi khusus,” kata Suaedy menangkap pemikiran Gus Dur.
Gus Dur membiarkan masyarakat Papua mendiskusikan otonomi khusus (otsus). Saat itu, para akademisi khawatir sehingga meminta kepada Gus Dur agar pemerintah ikut turun tangan. Namun, Gus Dur malah meminta agar hal itu dibiarkan berlangsung.
“Nanti kalau sudah jadi kita perjuangkan di DPR,” kata Suaedy menirukan perkataan Gus Dur.
Dalam menghadapi konflik tersebut, Gus Dur, kata Suaedy, menggunakan pendekatan personal dengan aktivis, para ulama dayah di Aceh, pemimpin agama, pemimpin adat, hingga LSM di dua wilayah tersebut.
Otonomi atau self determination yang dipilih Gus Dur menjadi langkah untuk mengakomodasi, tidak lagi menjadi langkah untuk merdeka. Justru hal ini menjadi tahapan menuju perdamaian abadi, kata Suaedy.[] Sumber: nu.or.id
Discussion about this post