AKU mengintip dari balik jendela. Seorang gadis berjilbab berdiri di dekat pintu. Raut wajahnya terlihat tak asing bagiku. Namun aku lupa akan sosoknya.
Gadis itu berkali-kali memalingkan wajahnya ke arah belakang. Ternyata, gadis itu ditemani oleh seseorang lelaki muda yang menunggu di dalam mobil. Sang lelaki menatapnya dengan raut wajah cemas.
Karena pernah penasaran dan tak seperti dugaan sebelumnya, aku akhirnya membuka pintu. Gadis itu terkejut melihatku. Dia mundur dua langkah dan kembali menatapku dengan wajah berkaca-kaca. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.
Aku baru sadar kalau sosok itu adalah..Marahani. Penampilannya jauh berubah. Rani semakin ayu dengan jilbab dan pakaian muslimahnya. Ya, persis seperti yang dikatakan Papi sewaktu kami bertemu di Krueng Mane beberapa waktu lalu.
“Mau masuk?” ujarku. Rani mengangguk.
“Masuk Mas?” ujarku lagi pada pria muda yang berada dalam mobil. Namun pria tadi menggeleng.
“Tak apa-apa Mas! Saya hanya mengantar. Saya cari rokok dulu,” kata pria itu sambil menyalakan mobil dan meninggalkan kosku.
Aku mempersilahkan Rani menuju ruang tamu. Ruang tersebut cukup sempit. Namun nyaman dan bersih. Rani terlihat masih gugup. Dia lebih banyak terdiam. Sementara aku bersikap biasa.
“Mau minum apa? Teh atau sirup?” tanyaku lagi. Namun sosok itu masih saja terdiam.
Aku kemudian menuju dapur untuk membuat teh tanpa menunggu jawaban Rani. Aku tahu jika hati Rani sedang galau. Perasaan Rani sedang berkecamuk. Antara senang dan marah saat bertemu denganku setelah bertahun-tahun berpisah. Sosok itu sepertinya masih memiliki harapan yang besar terhadapku.
Aku membawa dua gelas teh ke ruang tamu. Satu untuk Rani dan satu lagi untukku.
“Minumlah. Hanya ini yang aku punya. Aku baru seminggu di kos-kosan ini,” ujarku pelan. Aku mencoba bersikap tenang. Namun Rani malah menatapku dengan wajah kesal.
“Kenapa Mas bisa bersikap biasa seperti ini saat bertemu denganku?” ujarnya tiba-tiba dengan nada tinggi. Air mata Rani mulai tumpah.
“Kenapa Mas datang ke Yogya tanpa memberitahuku? Kenapa saat Mas ganti nomor handphone juga tak pernah memberitahuku?” ujarnya lagi dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Aku tak langsung menjawab. Ini karena Rani terlihat belum selesai dengan unek-unek yang disimpannya selama ini. Aku ingin Rani mengeluarkan semua isi hatinya terlebih dahulu agar dia nyaman.
“Mengapa Mas menganggapku seperti tidak pernah ada. Dan setelah sekian lama tak pernah bertemu, Mas masih tetap cuek seperti dulu! Apa salahku Mas?” ujarnya sambil terus menangis.
Aku hanya terdiam saat melihat Rani menangis. Entah apa yang dipikirkan Rani saat itu. Aku hanya khawatir jika tangisan Rani ini membuat para tetangga salah paham.
“Diamlah. Aku tahu kamu kesal terhadapku. Namun kalau kamu menangis terus-terusan, aku tak bisa menjelaskan apa-apa,” ujarku pelan. Tangisan Rani kemudian berkurang dan dia terdiam.
“Aku tahu kamu masih menyimpan rasa terhadapku. Setelah bertahun-tahun berpisah, kau masih menyukaiku. Terus-terang, aku merasa terhormat dicintai oleh gadis sepertimu. Namun jujur, aku tak layak menerima cintamu. Aku benar-benar tak layak untukmu. Jangan buang energimu untuk untukku,” ujarku.
“Tapi, Mas. Bukankah kita sudah sepakat untuk berusaha agar berjodoh. Lantas kenapa Mas seperti tak ingin agar hal tersebut terwujud? Kau membuatku gila, Mas,” kata Rani.
Aku terdiam mendengarkan pengakuan Rani. Ini karena memang pengakuan gadis itu ada benarnya. Dulu aku pernah berkata padanya bahwa aku mencintainya namun tak ingin berpacaran. Aku hanya ingin sesuatu yang halal dan berharap bisa berjodoh suatu saat nanti.
Entah aku mencintainya atau tidak. Namun alasan tak ingin berpacaran sebenarnya karena aku tak ingin terikat dengan gadis itu. Aku berharap Rani bisa mendapatkan jodoh setelah aku tinggalkan. Namun beberapa tahun pasca aku pulang ke Aceh, gadis Jawa itu sepertinya masih menyimpan harapan yang sama seperti 7 tahun lalu.
Rani masih seperti dulu. Masih menyimpan cinta yang tulus untukku. Sementara aku ada seorang buronan republic dan pemberontak. Rani tak akan siap hidup denganku.
“Oh, Tuhan. Apa yang harus aku jawab,” gumamku dalam hati.
“Mas. Tolong jawab jujur. Apakah Mas pernah mencintaiku?” ujar Rani. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post