SEPERTI prediksi Husaini, pasca keluarnya peunutoh dari panglima tertinggi, hijrah besar-besaran mulai terjadi. Para sipil GAM seluruh daerah mulai mencari kehidupan baru di luar Aceh.
Kepada mereka, tiap panglima berpesan agar selalu menjaga marwah Aceh. Tak melakukan kegiatan yang melanggar di negeri orang serta bisa hidup rukun dengan etnis lainnya.
Demikian juga dengan tentara GAM yang sakit. Menurut kabar, mereka diantar langsung oleh penghubung dari wilayah msing-masing.
“Antar yang sakit dan kawal selama pengobatan. Kalau sudah sembuh, bawa pulang kembali ke Aceh,” ujar Mualim kepada seseorang di seberang telepon. Husaini sendiri berdiri tak jauh dari Mualim. Hanya sekitar tiga meter. Hal ini pula yang membuatnya mendengar jelas percakapan sang panglima tertinggi tersebut.
“Perjuangan kita masih panjang, Yan. Kita masih butuh ribuan peluru dan tentara. Makanya tolong dikawal,” ujar Mualim lagi.
Husaini baru sadar bahwa Mualim berbicara dengan Sofyan Dawood, panglima wilayah Pase.
Usai berbicara melalui handphone, Mualim terdiam sesaat. Pria brewokan itu kemudian kembali menghubungi seseorang di seberang telepon. Mualim tiba-tiba berbicara dengan logat Melayu.
“Mungkin Mualim berbicara dengan seseorang di Malaya,” gumam Husaini dalam hati.
Hanya sedikit yang diketahui oleh Husaini. Intinya, Mualim meminta seseorang di seberang untuk menguatkan struktur wilayah di Malaya.
Setahu Husaini, struktur wilayah atau pemerintah GAM memang sudah terbentuk sejak tahun 1990-an di Malaya. Terutama penanggungjawab untuk kabupaten kota. Namun sejak 1998-1999, banyak tentara GAM yang kembali ke Aceh, tetapi perwakilan yang masih bertahan di Malaya tetap kuat.
Keberadaan struktur wilayah di Malaysia biasanya untuk menampung warga Aceh serta tentara nanggroe yang sakit. Tujuannya, agar setiap sipil dan tentara GAM yang sedang berobat bisa ditangani dengan serius. Demikian juga dengan pendanaan.
Usai menelpon yang kedua kalinya, Mualim tiba-tiba menatapnya. Husaini merasa serba salah.
“Ada apa Mualim?” tanya Husaini.
“Tidak ada. Apakah kau juga mau ke Malaya?” ujar Mualim tiba-tiba sambil tersenyum.
“Saya masih sehat Mualim? Tapi kalau itu perintah Mualim, siap,” ujar Husaini lagi dengan kaku. Mendengar hal ini, Mualim tertawa. Sikap Mualim ini sangat kontras dengan kejadian semalam.
Dari kejauhan, tiba-tiba suara letusan senjata api terdengar. “Tum, tum, tummm, tum, tum…tum, tum.” Suara itu terdengar dari dua arah.
Husaini terdiam. Demikian juga dengan Mualim. Beberapa anggota pasukan Husaini mendekat.
“Lapor panglima. Sepertinya TNI mulai mengepung tempat ini. Kontak tembak terjadi sekitar 4 kilometer dari sini. Perang antara Raider TNI dengan Tentara Nanggroe di lapisan pertama,” ujar sang pasukan.
Husaini terdiam.
“Berapa jumlah anggota kita di sana? Berapa lapis penjagaan?” tanya Mualim tiba-tiba. Mualim bertanya mendahului Husaini.
“Sekitar tiga pertahanan Mualim. Prediksi saya, mereka memerlukan waktu setidaknya tiga jam untuk mencapai lokasi ini,” ujar Husaini. Sang anggota pasukan mengangguk. Sedangkan Mualim terdiam.
“Tum, tum, tum…tum, tum.” Suara itu kembali terdengar.
“Apa sebaiknya kita mundur, Mualim?” tanya Husaini tiba-tiba.
“Tidak perlu,” ujar Mualim lagi. Pria itu tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya.
“Apa yang harus kita lakukan Mualim? Saya siap menerima perintah,” kata Husaini lagi. Dia tak ingin mendahului kebijakan yang diambil oleh sang panglima untuk keadaan genting.
“Kita ramaikan kalau begitu,” ujar Mualim.
“Maksud panglima?” tanya Husaini lagi. Dia belum mengerti dengan perkataan Mualim.
“Kita ikut berperang bersama pasukan. Kita pukul mundur pergerakan Raider. Ini daerah kita. Hutan ini adalah rumah kita. Kita tak boleh kalah dengan Raider yang baru datang itu,” kata sosok itu sambil mengambil AK-47. Pistol FN miliknya diselip di pinggang.
“Apakah ini tak terlalu berbahaya Mualim?” ujar Husaini.
“Tidak. Kalau kita mundur, maka pasukan di lapis pertama yang akan jadi sasaran. Namun kalau kita merapat, mereka akan mendapat bantuan dan semangat tempurnya kian membara. Kau ikut bersamaku kan?” kata Mualim lagi.
“Ya panglima. Pasti,” ujar Husaini sambil memegang senjata FN miliknya. Husaini juga menyelipkan senjata FN di pinggang. Dia kemudian mengambil AK-47 untuk berperang jarak jauh.
Mualim sendiri melangkah maju turun bukit. Beberapa pasukan mengapitnya di sisi kiri kanan. Husaini menyusul dan berjalan di sisi kanan Mualim.
Husaini melihat wajah pasukannya berseri-seri di samping Mualim, terutama yang berjalan di sisi kanan dan kiri panglima. Padahal mereka hendak berperang langsung dengan Raider. Pasukan terlatih milik TNI.
Husaini sadar bahwa keberanian yang ditunjukan sang panglima telah membakar semangat tempur pasukannya. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post