USAI salat Dzuhur dan makan siang, aku pamit pada Apa Syam. Sebelumnya, aku juga menjelaskan padanya mengapa kami memecah pasukan dalam beberapa tim kecil.
“Keberadaan kami hanya akan menarik perhatian warga lain di sini. Aku khawatir nanti dilaporkan ke TNI dan keselamatan Apa Syam menjadi taruhannya. Apalagi, Apa sedang sakit,” ujarku.
“Biar Hadi yang tinggal di sini untuk menemanimu, Apa. Dia bisa menyamar sebagai warga desa ini untuk sementara waktu. Sedangkan kami akan bergerilya. Nanti kalau Apa sudah sembuh, kita akan bertemu lagi,” kataku pada Apa Syam lagi.
Apa Syam hanya mengangguk mendengar penjelasanku. Wajahnya masih sangat pucat.
“Aku percaya padamu, Pakwa. Aku akan cepat pulih dan segera bergabung dengan kalian lagi,” ujarnya.
Aku juga berpamitan dengan pemilik rumah.
“Saya mohon ibu menjaga saudara seperjuangan kami ini. Beliau adalah pimpinan yang sangat kami segani,” kataku pada wanita itu.
“Iya. Akan saya jaga dengan nyawa saya. Almarhum suami saya juga seorang Tentara Nanggroe,” ujar wanita itu. Aku mengangguk dan kemudian keluar rumah.
Dani dan Geuchik Daud kemudian menyusulku dari arah belakang. Sesuai kesepakatan, kedua tentara nanggroe tersebut memang satu tim denganku.
“Kita harus ke mana?” tanya Dani kepadaku. Namun aku tak langsung menjawab.
“Saat ini TNI mulai menyisir hutan. Jika benar asumsiku, maka TNI ingin menjauhkan masyarakat dari kita. Maka yang harus kita lakukan adalah berbaur dengan masyarakat seperti dulu,” ujarku.
“Kita bergerak ke timur. Di mana kepungan TNI masih longgar,” kataku lagi. Sedangkan Dani dan Geuchik Daud mengangguk tanda sepakat.
Kami kemudian berjalan kaki menelusuri perkampungan. Beberapa jam kemudian, kami bertiga tiba di jalan Elak, Krueng Mane. Jalanan saat itu sepi. Tak ada kendaraan yang melintas.
Naluriku berkata bahwa ada yang tak beres. Ternyata, apa yang aku khawatirkan memang benar adanya. Dari arah berlawanan, suara letusan senjata api secara tiba-tiba terdengar.
Kami tiarap. Dari depan, ada belasan TNI yang sedang memuntahkan peluru ke arah kami.
Geuchik Daud memberi perlawanan. Namun tak mengenai sasaran. Demikian juga dengan Dani. Mereka membuang peluru percuma.
TNI berlindung di balik beton serta pasir laut yang diisi dalam karung besar. Hal ini membuat serangan Dani dan Geuchik Daud gagal.
Namun, tak berapa lama, dua Tentara Republik yang memuntahkan peluruh ke arah kami tiba-tiba tumbang. Mereka ternyata diserang dari arah belakang. Hal ini membuat Tentara Republik lainnya berlarian meninggalkan pos beton tadi serta tak lagi memuntahkan peluru ke arah kami.
Tentara Republik yang tersisa, akhirnya memasuki hutan dan kemudian menghilang. Ada juga yang menyelamatkan diri ke arah perkampungan.
Usai memastikan keadaan aman, aku mendekati pos yang ditinggalkan TNI tadi. Ada beberapa makanan kaleng yang tersisa di sana.
Aku kemudian melihat ke arah bukit di belakang pos tadi. Dari kejauhan, Adi mantan anggotaku di mukim Paloh, melambai tangan. Dia memang terkenal dengan tembakan jitunya.
Adi kemudian turun dengan langkah cepat ke arahku.
“Aku kebetulan lewat, Pakwa. Aku melihat kalian ditembaki TNI. Makanya, aku balas menembak dari arah belakang,” kata Adi.
“Apa kalian tidak tahu kalau saat ini TNI telah membentuk pos kecil di setiap desa? Kalau kalian turun seperti tadi, sangat berbahaya. Bisa-bisa nyawa menghilang,” ujar Adi lagi.
Aku menggeleng kepala. Demikian juga dengan Geuchik Daud dan Dani.
“Kau mau kemana? Kenapa ada di sini,” ujarku,
“Aku mencoba menghindari Paloh. Saat ini banyak TNI yang menyisir kampung di sana. Makanya, aku lari ke sini dan berharap bisa bergabung dengan pasukan lainnya,” ujar Adi.
“Kalau begitu, kamu ikut dengan kelompok ini saja. Kita harus segera pergi dari lokasi ini agar tak dihadang pasukan republic nantinya. Cepat lamban, mereka pasti kembali,” ujarku. Adi mengangguk tanda setuju. Sejak saat itu, kami berempat bergerilya bersama. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post