MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini mahar politik menjadi bagian yang menyatu dengan perilaku dalam setiap event kehidupan berdemokrasi, khususnya dalam pilkada di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Ghazali Abbas Adan, kepada mediaaceh.co, Senin 14 Maret 2016.
Ghazali Abbas mengatakan, pernyataan Partai Nasdem yang secara terbuka dalam menentukan sikap tidak ikut-ikutan dalam bursa mahar politik pada proses pilkada, merupakan angin segar bagi peningkatan kualitas demokrasi di tanah air.
"Pernyataan dan sikap demikian patut dan semestinya mendapat apresiasai dan dukungan. Karena praktik mahar politik merupakan racun bagi demokrasi," ujar Ghazali Abbas.
Menurut Ghazali Abbas Adan, pernyataan dan sikap Partai Nasdem belum terlihat reaksi oleh partai-partai lain. Namun ketika Ahok menyebutkan ada mahar Rp 100 miliar dalam pilkada DKI Jakarta, serta merta beberapa parpol merasakan seperti disambar petir di siang bolong, panik, sewot dan uring uringan bercampur marah.
“Bagi saya, terlepas dari pernyataan sosok Ahok dan jumlah mahar yang disebutkan, kendati tidak terbukti secara kasat mata, ihwal mahar politik benar adanya," kata Ghazali Abbas.
Kalau memang benar seperti pernyataan Ahok, maka pentolan parpol yang merasa terusik dan tersinggung dengan statement tersebut, Ghazali minta parpol-parpol itu secara terbuka menyatakan dan bersumpah bahwa selama ini dengan nomenklatur apapun tidak akan melibatkan diri dalam perilaku politik mahar.
"Tidak hanya marah-marah kepada Ahok, paling kurang seperti pernyataan dan sikap Partai Nasdem," tegas Anggota Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI ini.
Di sisi lain lanjut mantan Abang Jakarta ini, ihwal permaharan dalam event-event politik di Indonesia termasuk dalam pemilu legislatif juga sudah mewabah. Menurutnya sebab musabab munculnya nomenklatur dana aspirasi bagi anggota parlemen, juga tidak terlepas dari beban yang harus mereka tanggung dari rongrongan sebagian anggota masyarakat yang mengaku timses dan apalagi timses benaran yang menuntut dana ini dan itu sebagai balas budi atas "jasa-jasa" mereka mengantarkannya ke kursi parlemen.
"Agaknya karena banyak dan panjangnya antrian penuntut dana balas jasa yang harus dipenuhi, sementara gaji dan tunjangan resmi tidak mencukupi, sehingga dana aspirasi merupakan alternatif. Konon lagi bagi yang masih menyimpan keinginan untuk naik lagi periode berikutnya," ujarnya.
"Saya kira sikap sementara masyarakat demikian juga racun bagi demokrasi. Oleh karena itu niscaya kehidupan berdemokrasi di seantero tanah air berkualitas adalah mahar politik dengan modus operandi dan nomenklatur apapun, baik melibatkan parpol maupun masyarakat mutlak harus dihentikan. Karena mahar politik itu secara nyata merupakan racun bagi demokrasi," pungkas Ghazali Abbas.[]
Discussion about this post