“Kami menunggu perintahmu, Apa. Kami akan bersamamu hingga nyawa ini terlepas dari badan,” ujar Hadi.
“Aku mengingatkan kalian untuk satu hal. Jangan pernah meninggalkan perjuangan. Jangan pernah mengikuti orang. Aku dan orang yang kalian hormati saat ini bisa saja berubah seiring waktu. Namun perjuangan kita tak pernah berubah. Tidak sekarang ataupun nanti,” kata Apa Syam.
“Seutot perjuangan, bek seutot ureung,” ujar Apa Syam.
“Siap, komandan,” ujar pasukan lainnya.
Kami kemudian bubar dan kembali ke posisi masing-masing. Apa Syam memintaku untuk duduk di sisi kirinya di bawah pohon. Sementara sejumlah pasukan lagi kembali ke lokasi penjagaan masing-masing.
“Apakabar, Bang Yan dan Mualem? Di saat-saat seperti ini, aku rindu dengan dua sosok itu,” kata Apa Syam ke arahku.
Aku tak langsung menjawab. Ini karena aku sudah lama tak menjalin komunikasi dengan keduanya sejak di Krueng Mane.
“Aku tak tahu, Apa. Sama Mualem sudah lama tak berkomunikasi. Ada informasi beliau di pedalaman Aceh Utara. Demikian juga dengan Bang Yan. Namun kalau ditanya posisinya, aku tak tahu dimana persinya,” kataku lagi.
Apa Syam terdiam usai mendengar kata-kataku. Aku melihat wajahnya sedikit pucat.
“Apa kau sakit, Apa? Wajahmu terlihat pucat,” ujarku. Aku mendekatkan tangan ke arah keningnya. “Panas.”
“Tak apa-apa. Aku tak apa-apa. Tolong jangan sampai diketahui oleh pasukan lain. Nanti mereka susah,” ujar Apa Syam. Aku mengangguk.
“Apa kita lebih baik meninggalkan hutan ini, Apa? Aku khawatir kamu kena malaria,” kataku setelah lama terdiam.
“Kita tunggu pasukan yang turun mencari makanan dulu. Baru kita pindah tempat. Aku khawatir jika kita pindah tempat, nanti sama-sama susah,” ujar Apa Syam lagi.
Apa Syam kemudian tertidur. Aku sendiri duduk di sampingnya dengan perasaan cemas.
Aku berharap anggota pasukan yang bertugas mencari makanan segera pulang. Namun hingga malam hari tiba, mereka ternyata belum juga kembali.
Sekitar pukul 22.00 WIB atau malam kedua kami di hutan, aku melihat Apa Syam tak bangun untuk salat Isya. Tubuhnya juga semakin panas.
Dani yang melihat aku khawatir mendekati kami.
“Kenapa kau cemas, Pakwa?” tanyanya. Aku tak menjawab dan hanya melihat ke arah Apa Syam.
Dani menyentuh kening Apa Syam. “Panas,” ujarnya.
“Kita harus menelpon pasukan yang mencari makanan atau mengutuskan orang lain ke kota untuk mencari obat,” ujarku.
“Aku punya nomor mereka. Namun di sini tak ada sinyal,” ujar Dani.
“Kita mungkin bisa memanjat pohon-pohon ini. Siapa tahu di atas pohon ada,” ujarku. Dani mengangguk.
Dani kemudian berbagi nomor handphone pasukan tadi. “Sandinya, Aneuk Nanggroe, setelah Assalamualaikum,” ujar Dani. Aku mengangguk.
Aku kemudian memanjat beberapa pohon. Namun gagal. Tak ada sinyal. Kami memang berada jauh dari pemukiman penduduk.
Saat memanjat pohon ketujuh, ternyata ada sinyal. Aku menelpon nomor pasukan tadi dan tersambung.
“Assalamualaikum, Aneuk Nanggroe,” ujarku.
“Walaikumsalam. Bagaimana keadaan pasukan,” katanya di seberang.
“Kami baik-baik saja. Nyoe Pakwa. Apakah sudah ada makanan?” kataku lagi.
“Ada Pakwa. Namun kami masih di Geurugok. Kami kemarin dihadang TNI dan terlibat kontak tembak. Tapi Alhamdulillah selamat,” ujarnya.
“Bagus kalau begitu. Cepat kalian kembali ke sini. Oya, jangan lupa beli obat-obatan, terutama obat malaria. Apa Syam sakit,” kataku.
“Berapa lama kalian bisa sampai di tempat kami?” ujarku lagi.
“Mungkin sekitar 1 hari lagi jika berjalan kaki. Naik mobil tak mungkin. Bisa ketahui TNI,” kata di seberang sana.
“Begini. Usahakan secepatnya kemari. Aku khawatir, Apa Syam tak dapat bertahan lebih dari sehari,” kataku.
“Siap, Pakwa,” ujar sosok diseberang. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post