SAAT harapan hampir hilang. Dari kejauhan aku melihat ada dua batang kelapa yang berada di dekat rawa. Aku memberi isyarat pada dua anggota pasukan yang menyertaiku.
Mereka tersenyum dan mendekat ke lokasi dengan kewaspadaan tinggi. Berhati-hati jika seandainya ada musuh yang bersembunyi di sana.
“Alhamdulillah. Buahnya banyak. Cukup untuk kita semua. Terimakasih Tuhan,” ujarku. Para anggota pasukan mengangguk dan tersenyum.
“Biar aku yang panjat saja, Pakwa. Aku biasa memanjat kelapa,” ujar anggota pasukan yang belakangan aku ketahui bernama Taufik. Sedangkan seorangnya lain bernama Hadi.
Taufik ternyata memang piawai memanjat kelapa. Hanya beberapa kali loncat, dia sudah berada di pucuk pohon. Dia kemudian memotong dua tangkai. Masing-masing tangkai berisi 8 buah. Buah kelapa tadi diingkat dengan tali dan diturunkannya dengan pelan-pelan.
Taufik kemudian kembali memanjat pohon kelapa lainnya. Di sana, dia kembali memotong dua tangkai yang berisi sekitar 15 buah kelapa.
“Aku tinggalnya buah yang kecil-kecil. Siapa tahu kita akan kembali ke sini suatu saat nanti dan bisa kembali memetiknya,” ujar Taufik saat selesai memanjat.
“Ya. Sisakan sedikit untuk tupai. Biar dia tak marah selama kita berada di hutan ini,” kataku.
Kami kemudian memikul buah kelapa menuju ke tempat Apa Syam. 4 Tangkai berisi 31 kelapa ini ternyata cukup berat. Namun mau tak mau kami harus memikulnya.
Jarak perjalanan pulang ke lokasi pasukan ternyata cukup jauh dan melelahkan. Hampir memakan waktu 1 jam 20 menit. Kami tiba pukul 11.15 WIB.
Beberapa pasukan tersenyum melihat kami pulang membawa buah kelapa. Mereka segera mengambil kelapa tersebut dan meletakannya di depan Apa Syam yang terlihat lesu. Aku menduga kalau Apa Syam sedang kelaparan.
Raut wajah Apa Syam berubah berseri-seri. Dia tersenyum.
“Jumlah kita saat ini 60 orang. Sedangkan kelapa setengahnya. Apa bisa satu kelapa dua orang?” ujar Apa Syam. Semua mengangguk sepakat.
Aku melihat Apa Syam benar-benar piawai dalam mengatur pasukan. Dia benar-benar menjadi orangtua bagi pasukannya.
“Kita berdua, Pakwa. Kamu belah. Aku tak lagi memiliki kekuatan untuk bangun,” ujarnya dengan nada pelan. Aku mengangguk.
Aku mengupas ujung kepala agar mudah meminum air-nya. Usai meneguk sedikit, aku menyerahkannya ke Apa Syam. Dia melihatku dengan wajah keheranan.
“Airnya manis, Apa. Minumlah. Ini bisa mengurangi rasa lapar,” ujarku.
“Kamu minumnya sebentar. Apa kamu tidak haus? Atau kau merasa iba terhadapku?” ujar Apa Syam.
“Tidak Apa. Kami tadi sudah minum di bawah pohon sedikit. Apa, minum saja yang banyak biar kembali kuat,” kataku sedikit berbohong. Taufik dan Hadi memandangiku dengan penuh makna.
Apa Syam kemudian meneguk air kelapa dengan cepat. Dia benar-benar haus dan lapar.
Apa Syam kembali menyerahkan buah kelapa tadi kepadaku. Dia memberi isyarat agar aku membelahnya dan kami bisa memakan dagingnya. Usai membelah, aku mencukil daging kelapa. Dagingnya lembut. Aku menyerahkan setengah batok pada Apa Syam.
“Ini benar-benar lezat. Aku tak lagi lapar,” ujarnya. Aku tersenyum. Aku melihat seluruh pasukan melakukan hal yang sama.
Dari kejauhan, aku melihat Dani menggali lubang. Dia kemudian membuat sisa kelapa di sana.
“Nanti batok sisa dibuang disini ya. Biar TNI tak mengetahui jejak kita,” ujarnya. Kami mengangguk. Usai makan, kami menuju ke arah Dani dan membuang batok kelapa yang digalinya. Saat memastikan semuanya sudah selesai, Dani dan beberapa pasukan menutup lubang tadi hingga rapi. Dani juga menabur daun-daunan di atas lubang.
“Aku benar-benar beruntung memiliki pasukan seperti kalian. Terimakasih atas kesetiaan kalian selama ini,” ujar Apa Syam.
“Saat beberapa pasukan menyerah ke Republik selama konflik. Kalian tetap bertahan bersamaku, walaupun kita lapar di hutan. Jauh dari istri dan anak,” katanya lagi.
Aku tersentuh dengan perkataan Apa Syam. Sosok itu cenderung pendiam. Namun saat dia serius, ternyata kata-katanya begitu dalam.
“Jika suatu saat konflik ini selesai. Aku meminta kalian untuk mengingat saat-saat seperti ini. Saat-saat kita lapar bersama. Ketika kau membenci kawan seperjuanganmu, maka ingatlah masa-masa susah seperti sekarang,” kata Apa Syam lagi.
“Ingatlah apa tujuan kita. Ingatlah berapa banyak rekan-rekan seperjuangan kita yang meninggal akibat perang ini. Ingatlah masa-masa susah. Jangan sampai, satu dua orang yang berbuat salah, tapi kalian meninggalkan perjuangan ini,” ujarnya. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Discussion about this post