Bertahan dengan Keterbatasan
APA Syam kemudian memintaku segera bersalin. Dia menyerahkan sehelai baju kaos putih dan sepotong celana jeans sebagai pengganti baju yang kukenakan tadi.
“Nanti bajumu kau serahkan padaku. Demikian juga dengan celana,” ujarnya. Aku mengangguk. Aku tak banyak bertanya. Aku percaya Apa Syam memiliki taktik tersendiri.
Usai bersalin, aku melihat baju yang aku kenakan tadi sudah dipakai oleh seorang pasukan nanggroe. Postur tubuhnya mirip denganku.
Pria itu kemudian memakai sebo atau penutup wajah. Dengan menggunakan AK-47 serta didampingi seorang pasukan lainnya, dia kemudian meninggalkan markas. Pria ini mengarah ke Ujong Pacu.
Usai bersalin, aku menelpon Papi untuk memastikan keadaannya aman usai mengantarku. Aku berharap mereka berdua baik-baik saja dan tidak bertemu dengan TNI tadi di jalan pulang.
“Hallo Papi. Bagaimana keadaanmu di sana? Baik-baik saja,” tanyaku.
“Kami baik-baik saja, Musa. Kami sekarang sudah di Simpang Empat Krueng Geukuh,” jawab Papi dari seberang telepon.
“Baiklah kalau begitu. Pulanglah dan simpan mobilmu untuk beberapa hari di rumah. Jangan sampai ketahuan oleh TNI tadi,” ujarku lagi.
“Ya. Kamu juga semoga baik-baik saja. Kami siap membantumu jika sewaktu-waktu kami butuh bantuan,” kata Papi lagi.
“Ya. Pasti. Tanpa pertolonganmu hari ini, aku tak tahu harus bagaimana. Sampaikan juga terimakasihku untuk Hamdani. Aku tak akan melupakan kebaikan kalian hari ini,” ujarku.
“Ok. Aku akan menutup telepon sekarang. Jaga diri kalian disana,” kataku lagi. Aku menutup telepon.
Dari arah belakang, Apa Syam tiba-tiba datang menepuk pundakku. Ada Dani serta beberapa pasukannya di belakangnya.
“Pakwa. TNI yang menjegatmu di jalan tadi sedang menyisir Ujong Pacu. Mereka baru sadar kalau orang dalam mobil tadi adalah kamu. Mereka bertanya sama masyarakat kemana kamu bergerak. Untung informan kita melapor dengan cepat,” ujar Apa Syam.
“Lalu, apa kita harus pindah markas? Maaf jika kedatanganku membuat kalian susah,” ujarku.
“Tidak apa-apa. Kita akan coba bertahan. Kalau mereka menyeberang sungai, berarti kita harus pindah. Namun jika sekedar menyisir di Ujong Pacu, tak masalah. Aku sudah mengirim pasukan ke sana untuk memberi perlawanan. Sebentar lagi mungkin akan ada suara letusan senjata,” ujar Apa Syam.
“Apa yang memakai baju dan celanaku tadi?” tanyaku.
“Ya. Dia sebagai pengalih. Dia ditemani seorang pasukan. Semoga dia selamat nantinya,” jawab Apa Syam.
Hanya berselang menit, suara letusan senjata api menyalak. Aku mencoba bersikap tenang. Demikian juga dengan Apa Syam dan Dani. Beberapa pasukan malah asyik merokok seolah tak terjadi apa-apa.
Letusan senjata hanya terjadi beberapa menit. Makin lama, suara letusan senjata semakin menjauh dari lokasi kami.
“Sepertinya, dia berhasil. Semoga dia segera menghubungi kita,” ujar Apa Syam lagi. Aku terdiam.
Sekitar 30 menit kemudian, handphone Apa Syam berdering. Apa Syam melihat nomor handphone yang muncul di layarnya. Dia tersenyum serta menerima panggilan masuk tersebut.
“Baik. Kalian jaga diri baik-baik. Untuk sementara bertahan di sana. Besok kita akan pindah markas dan nanti aku memberitahu lokasinya,” ujar Apa Syam sebelum menutup telepon.
Apa Syam kemudian tersenyum ke arahku.
“Mereka selamat. Saat ini ada di salah satu rumah warga di kawasan Krueng Geukuh,” ujarnya. Aku menarik nafas lega mendengar informasi dari Apa Syam tersebut.
Apa Syam kemudian mengajakku untuk memasuki rumah kosong yang digunakan sebagai markas. Dani turut menemani kami.
Di dalam markas, ternyata ada nasi dan lauk pauk sederhana. Ikan asin plus tempe.
“Ayo kita makan dulu. Aku lapar,” ujar Apa Syam. Aku mengangguk. Sedangkan Dani tertawa.
“Hanya ini yang kami punya, Pakwa. Ayo kita makan bersama,” kata Dani sambil meraih piring dan gelas plastik.
Dani mengambil nasi, lauk serta ikan asin. Dia menyantapnya dengan lahap. Demikian juga dengan Apa Syam.
“Keadaan sekarang kian terjepit, Pakwa. Stok makanan kian menipis. Ini pun hasil sumbangan masyarakat,” ujar Apa Syam.
“Malam ini kita bertahan di sini. Besok kita bergeser ke lokasi lain. Semoga tuhan memberi keselamatan bagi kita,” ujarnya lagi. Aku terdiam mendengar penjelasan Apa Syam. Aku tak menduga jika pasukannya sedang benar-benar terjepit.
“Maaf jika kedatanganku membuatmu kesusahan, Apa. Aku benar-benar merasa tak enak,” kataku sambil melahap nasi.
“Tidak. Keadaan ini sudah berlangsung jauh hari. Besok tanpa kedatanganmu pun, kita harus pindah. Stok makanan sudah menipis. Aku tak mau pasukan kelaparan,” ujarnya. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga: [Cerbung] Sang Kombatan (79)
Discussion about this post