AKU menginap di rumah Papi selama 4 malam. Kemudian pindah ke rumah Hamdani.Tujuannya, agar keluarga Papi tak curiga terkait statusku kini.
Selama ini, mereka hanya mengetahui bahwa aku berasal Paloh dan baru pulang kuliah dari UGM, Yogya.
Jarak antara kemukiman Paloh dan Krueng Mane, lumayan dekat serta bisa ditempuh hanya belasan menit jika menggunakan sepeda motor.
Tentu keluarga Papi akan curiga jika aku terlalu lama menginap di rumah mereka.
Selama di rumah Hamdani, aku lebih banyak menghabiskan waktu pagi dan siang hari di warung kopi.
Sementara malam hari tetap dikawani oleh Papi dan Hamdani.
Dari kebiasaan nongkrong di warung kopi ini juga, aku akhirnya akrab dengan Lukman, operator Terkomsel yang bekerja di Lhokseumawe. Lukman pula yang membeberkan sebuah rahasia penting padaku terkait aktivitas TNI dan GAM.
"Musa, bagaimana keadaan Krueng Mane selama ini menurutmu?" tanya Lukman saat kami bertemu di warung kopi dekat Pasar Inpres Krueng Mane, siang itu.
"Maksudmu? Kalau arah pembicaraanmu soal GAM dan TNI, aku rasa tak perlu dikhawatirkan. Krueng Mane aman," ujarku seolah-olah polos.
Namun Lukman terdiam beberapa saat usai mendengar penjelasanku.
"Menurutku, tak demikian. Aku khawatir kalau kontak tembak bakal terjadi di Krueng Mane dalam waktu dekat ini," ujar Lukman dengan mimik wajah serius.
"Maksudmu?" tanyaku lagi.
Wajah Lukman kemudian menoleh ke kiri dan kanannya. Dia seperti menyimpan rahasia besar dan khawatir jika rahasia tersebut diketahui oleh orang banyak.
"Kau tahu? TNI saat ini telah memiliki alat sadap telepon? Untuk pesisir timur Aceh! Alat penyadap besar telah dioperasikan di Lhokseumawe," katanya kemudian.
Aku terkejut mendengar penjelasan Lukman. Aku mencoba mengorek informasi lebih dalam dari Lukman.
"Untuk apa alat itu?" ujarku lagi. Aku berharap Lukman meneruskan informasi yang diketahuinya kepadaku.
"Untuk menyadap telepon pimpinan GAM lah. Telepon apa lagi coba? " jelas Lukman.
"Semua telepon pimpinan GAM yang biasa berkomunikasi dengan wartawan dan warga disadap. Nah, alat sadap itu ternyata juga menunjukan bahwa ada salah seorang petinggi GAM di Krueng Mane," ujarnya kemudian.
Penjelasan Lukman ini membuatku sedikit khawatir.
"Siapa pimpinan GAM di Krueng Mane? Aku pikir tak mungkin, Krueng Mane saat ini aman aman saja," ujarku lagi.
Penjelasanku ini ternyata membuat Lukman berang. Dia sepertinya terpancing karena aku tak percaya dengan informasi rahasia yang disampaikannya.
"Benar. Sinyal handphone milik petinggi GAM itu selalu muncul di dekat sawah Cot Seurani beberapa hari terakhir," ujar Lukman lagi.
Mendengar penjelasan Lukman ini membuatku semakin panik. Namun aku mencoba bersikap santai di depan Lukman.
Rumah Hamdani di Cot Seurani memang berbatasan langsung dengan sawah. Jika benar apa yang disampaikan Lukman, maka nomor handphone yang dimaksud tadi adalah milikku.
Aku kemudian meminta izin pada Lukman untuk langsung pulang ke rumah Hamdani. Nomor handphone yang biasa aku gunakan langsung aku nonaktif-kan.
Malamnya, aku bertemu dengan Papi dan Hamdani. Aku menceritakan apa yang disampaikan oleh Lukman padaku.
Untuk membuktikan bahwa apa yang disampaikan oleh Lukman benar adanya, aku meminta Hamdani dan Papi untuk membawa handphone ke Lhokseumawe besoknya.
"Sesampaikan di Kota Lhokseumawe, kalian aktifkan nomor ini selama 20 menit dan kemudian kalian non aktif-kan lagi dan bawa pulang lagi," ujarku.
Papi dan Hamdani mengangguk. Paginya, mereka melaksanakan misi yang aku berikan. Mereka baru kembali siangnya. Sore harinya, aku kembali bertemu dengan Lukman di Warkop Pasar Inpres.
"Bagaimana dengan sinyal handphone milik orang GAM itu?" tanyaku pada Lukman dengan mimik serius.
"Sepertinya, sosok itu sudah keluar dari Lhokseumawe. Tadi siang, sinyal handphonenya tercatat di Kota Lhokseumawe," ujar Lukman datar.
"Ternyata benar," gumamku dalam hati. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post