IBU terkejut melihatku berdiri di depan pintu rumah. Sedangkan ayah tak berkomentar banyak. Wajah mereka berkerut. Aku sendiri tiba di Paloh sekitar pukul 15.00 WIB. Mereka membiarkanku istirahat di kamar hingga magrib tiba.
Usai magrib dan makan, ayah memanggilku ke ruang tamu. Mimik wajahnya terlihat serius. Sedangkan ibu dan adik lelakiku menguping di balik pintu dapur.
Sudah kebiasaan ayahku, Teungku Abdullah, untuk memanggil anak-anaknya jika mendapatkan informasi tak mengenakan.
“Untuk apa kau pulang ke Aceh? Apa kuliah mu sudah selesai? Atau kau sedang libur?” ujarnya setelah terdiam lama.
Sedangkan aku cuma terdiam. Aku belum tahu harus memberi alasan apa terkait kepulanganku ke Aceh.
“Apakah kita hanya duduk seperti ini? Atau kau memberiku jawaban atas kepulangan mu ini? Aku tahu kamu belum selesai kuliah,” katanya lagi.
Aku menarik nafas panjang.
“Saya ingin bergabung dengan Tentara Nanggroe, ayah,” ujarku pelan. Aku tak berani menatap wajah sosok di depanku itu. Aku tahu kalau dia akan marah besar usai mendengarkan jawabanku.
Ayah tersentak mendengar penjelasanku.
“Apa?” ujarnya dengan nada meninggi.
“Bisa kau ulang jawabanmu?” kata ayahku lagi.
“Ya. Saya pulang karena ingin bergabung dengan GAM. Saya ingin mengikuti jejak ayah,” jawabku lagi.
Ternyata, jawabanku ini justru membuatnya terdiam. Dia tak marah tapi ada kekhawatiran di wajahnya saat itu.
“Saat kau kuliah di UGM, ayah sangat bangga. Ayah bercerita pada tetangga dan orang-orang kampung bahwa kamu sedang berada di Yogya untuk mengejar sarjana,” ujarnya pelan.
Ayah seperti sedang curhat kepadaku.
“Ayah selalu bangga kepadamu. Dari SMA, kau berprestasi. Ini karena ayah berharap kau bisa berjuang untuk Aceh melalui jalur yang berbeda. Namun kini, kau justru kembali ke Aceh. Keputusanmu ini membuat ayah kecewa,” katanya lagi pelan.
Aku terdiam. Setiap kata-kata yang dilontarkan ayahku mengandung makna yang sangat dalam.
“Tapi ayah. Aku tak bisa jadi penonton melihat semua perlakuan pemerintah terhadap Aceh. Aku tak bisa menutup mata terhadap temuan kuburan massal serta pelanggaran HAM di Aceh,” ujarku kemudian.
“Ya. Tapi tak harus memegang senjata. Kau tahu resiko yang terjadi nanti? Kamu bisa terbunuh,” kata ayahku lagi.
“Aku sadar. Aku sadar, sesadar-sadarnya. Aku sudah memutuskan untuk bergabung Tentara Nanggroe. Aku bahkan sudah membeli sepasang baju tentara di Yogya sebelum pulang,” ujarku.
Ayahku terkejut mendengar penjelasanku yang terakhir. Dia sepertinya tak menyangka bahwa persiapanku bergabung dengan Tentara Nanggroe sudah sedemikian jauh.
“Dimana kau simpan baju itu?” ujarnya kemudian.
“Di tas, ayah,” jawabku.
“Ambil dan bawa ke sini,” katanya lagi. Aku kemudian masuk ke kamar dan mengambil baju tersebut dalam tas.
Aku membawa baju tersebut ke hadapan ayah. Di luar dugaan, ayahku kemudian merampas baju tersebut dan membawanya ke luar rumah.
“Aku melarangmu keluar. Kamu pikir lagi matang-matang keputusan tadi. Baju ini akan saya kuburkan di suatu tempat,” ujarnya pelan. Sedangkan aku hanya tertuduk lesu. Aku tak menduga ayahku akan bereaksi seperti tadi usai mendengarkan penjelasanku.
Sejak kecil, aku sebenarnya tahu tentang aktivitas ayahku di gerakan perlawanan. Namun sosok itu tak pernah mau bercerita pada kami. Dia menyimpan rahasia tersebut erat-eratnya.
Aku berpikir, ayahku akan mendukung penuh keinginanku untuk mengikuti jejaknya. Namun kenyataan yang kuhadapi saat ini justru berbeda.
“Ayah melarangmu keluar rumah selama 3 hari. Ayah ingin kau segera kembali ke kampus untuk menyelesaikan sarjanamu. Saat ini situasi di Aceh sedang buruk. Ayah tak ingin kau menjadi korban,” ujarnya usai keluar rumah selama 30 menit.
“Apapun yang ayah putuskan saat ini adalah yang terbaik bagimu. Pikirkanlah. Saat ini, kamu pasti berpikir kalau ayah egois, tapi ini adalah keegoisan seorang ayah yang ingin anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik,” katanya lagi.
Aku tertunduk lesu mendengarkan penjelasan ayahku. Harapanku menipis. Aku kemudian memilih masuk kamar.
Adik lelakiku menyusul beberapa menit kemudian.
“Bang. Aku juga ingin bergabung dengan Tentara Nanggroe. Aku tahu kita harus mendaftar sama siapa agar bisa menjadi Tentara Nanggroe. Nanti kita mendaftar secara diam-diam saja,” ujarnya sambil tersenyum.
Dia kemudian memelukku.
“Aku bangga dengan keputusanmu, Bang. Mungkin sudah ditakdirkan jika kita memiliki pemikiran yang sama,” ujarnya lagi. (Bersambung)
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post