MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menyengketakan DPR Aceh terkait informasi publik hasil kunjungan kerja (Kunker) anggota dewan ke luar negeri.
“GeRAK kembali meminta informasi publik terkait hasil kunjungan kerja yang dilakukan anggota dewan pada tahun 2015 kebeberapa negara, yaitu meliputi Turki, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Belanda,” kata Fernan
Kepala Devisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Fernan, dalam pers rilisnya yang diterima mediaaceh.co, Senin, 8 Fabruari 2016.
Menurut Fernan, sudah sepatutnya Sekretaris Dewan (Sekwan) sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dapat memberikan informasi kepada publik terhadap penggunaan dana yang dibelanjakan oleh setiap anggota dewan dalam bentuk kunjungan kerja ke luar negeri.
“Apa alasan dewan melakukan kunker dan apa impact dan hasil serta manfaat nyata bagi publik di Aceh,” ujar Fernan.
Ironisnya, kata Fernan, kunjungan kerja yang dilakukan tidak sejalan dengan kinerja dewan itu sendiri. Dimana pengesahan APBA terseok-seok hingga tahun berjalan.
“Seharusnya tidak ada hal yang lebih penting daripada fungsi dewan untuk melakukan perencanaan APBA itu sendiri,” katanya.
Kemudian berdasarkan hasil monitoring GeRAK Aceh, Fernan menambahkan, tercatat bahwa proses perjalanan keluar negeri yang dilakasanakan oleh anggota DPR Aceh secara sembunyi-sembunyi, serta ada unsur kesengajaan untuk tidak memberitahukan kepada publik.
“Hal ini menunjukan bahwa DPR Aceh sengaja melakukan praktek tertutup. Padahal, di era saat ini semua tindak dan tanduk yang dilakukan dewan harus diketahui dan diumumkan kepada publik, apalagi dana yang dipakai adalah dana publik,” pungkas Fernan.
Dilain sisi, kata Fernan, GeRAK Aceh sangat menyesalkan kenapa sengketa informasi publik bisa kembali terjadi di badan publik DPR Aceh. Seharusnya mereka sudah harus belajar tentang keterbukaan secara lebih baik dan bukan melakukan upaya-upaya tertentu dengan menutup informasi.
“Ini kan artinya mengulang kesalahan yang sama,” ujarnya.
Menurut Fernan, ibarat kata “seperti keledai saja yang konon tidak mau masuk pada lubang yang sama”. Proses sidang di Komisi Informasi Aceh (KIA) adalah bagian dari upaya permohonan yang disampaikan. Tetapi surat permohonan yang diajukan oleh GeRAK tidak pernah direspon.
“Bahkan, surat keberatan yang kita ajukan kepada sekwan selaku atasan PPID tidak juga dijawab,” katanya.
Mirisnya lagi, ini terjadi disaat PPID Utama telah berupaya untuk meningkatkan pelayanan informasi publik di lingkungan SKPA. Hasilnya pun tidak tanggung-tanggung. Pada tahun 2015, Aceh dinobatkan sebagai provinsi paling terbuka se-Indonesia yang diberikan oleh Komisi Informasi Pusat.
“Hal ini seakan-akan menjadi tamparan bagi Pemerintah Aceh diawal tahun berjalannya pemerintahan. Untuk itu Gubernur harus mengevaluasi penyelenggaraan layanan informasi publik diseluruh SKPA,” pintanya.
“Kami beharap Setwan silahkan membuka informasi publik terkait perjalanan Anggota Dewan pada persidangan. Melayani informasi publik merupakan hak masyarakat sebagaimana yang telah diatur dalam UU 14/2008,” ujarnya.[]
Discussion about this post