Paloh dan Cerita Kelam Dibalik Arun
FATIMAH sibuk. Ia beberapa kali terlihat bolak-balik dari dapur ke kamar tidur. Kuah pliek-nya mendidih. Hampir masak. Demikian juga dengan ayam kampung yang dimasak khas Aceh di kuali sebelah. Baunya tercium hingga keluar rumah.
Rumah Fatimah berbentuk panggung semi permanen. Pagar hanya dikeliling oleh pohon kuda-kuda. Di desanya, Fatimah biasa dipanggil dengan Nyak Ti.
Ia tinggal di Paloh. Desa itu hanya berjarak belasan meter dari gerbang PT Arun Natural Gas Liquefaction, lebih dikenal dengan PT Arun.
Perusahaan yang diresmikan oleh Presiden Suharto pada 19 September 1978 setelah berhasil mengekspor kondensat pertama ke Jepang (14 Oktober 1977). Tahun 1990, PT Arun adalah perusahaan penghasil LNG terbesar di dunia.
Selama puluhan tahun kilang-kilang besar milik Arun mengekploitasi hasil bumi Aceh. Lidah api dari kilang-kilang Arun seakan membakar Lhokseumawe ketika malam hari tiba.
Lhokseumawe kemudian digelar dengan sebutan Kota Petro Dollar. Namun realitas yang terjadi justru bertolak belakang. Tak ada dollar yang beredar di tangan masyarakat, termasuk di Paloh.
Pembangunan dan fasilitas di Paloh justru sangat minim. Jalannya berlobang serta deretan rumah reot masih dengan mudah ditemui. Warganya miskin.
Paloh dan PT Arun ibarat kisah Si Cantik dan Si Buruk Rupa.
Paloh termasuk daerah merah saat konflik melanda Aceh. Banyak pemuda desa Paloh yang menganggur. Mereka susah mendapat pekerjaan di perusahaan yang berdiri di dekat desa mereka.
Untuk masuk dalam komplek PT. Arun saja, mereka harus melewati pos pemeriksaan berlapis-lapis. Ada TNI dan polisi yang memberi pengawalan ketat di sana.
Ya, di sanalah Fatimah tinggal.
“Baunya wangi sekali Nyak Ti. Bikin lapar. Ada apa gerangannya ini? Tak seperti biasanya,” kata Nurani tiba-tiba.
Nurani merupakan tetangga sebelah rumah. Umurnya sekitar 40-an. Ia yang selama ini menjaga Nyak Ti. Bilang malam tiba, ia yang biasanya menemani wanita tua itu tidur.
Sedangkan Nyak Ti merupakan sebutan untuk Fatimah. Wanita tua itu tergolong kuat untuk seumuran-nya. Hari-hari dilalui dengan tegar. Termasuk harus menghadapi TNI saat tiba-tiba datang mengeledah. Mereka mencari suami dan anaknya.
Loteng rumah Nyak Ti bolong-bolong di setiap sudut akibat terkena ujung senjata.
Selama darurat, memang suami dan anak Nyak Ti jarang pulang. Mereka terlihat dalam GAM.
Suami Nyak Ti merupakan anggota GAM dari tahun 80-an. Sedangkan anaknya merupakan orang paling dicari dan diburu oleh TNI di Pase. Seorang anak yang lain telah meninggal dunia. Ia meninggal akibat kontak tembak dengan TNI. Kira-kira setahun sebelum konflik.
“Apakah ada kenduri Nyak Ti?” ujar Nuraini lagi. Matanya tertuju pada dua kuali besar di atas bara api.
Pertanyaan ini tak mendapat respon dari Nyak Ti. Sekitar 15 menit kemudian, wanita tua itu muncul dari kamar dengan pakaian batik panjang. Kepalanya dililit selendang panjang sebagai pengganti jilbab. Wanita tua itu tersenyum ke arah Nurani.
“Sudah, tak usai kau banyak tanya. Kau bantu aku dulu untuk memasukan kuah pliek dan ayam kampung itu dalam rantang ini,” ujarnya sambil menyerahkan rantang plastik. Nurani mengangguk. Ia bekerja dengan cekatan. Dalam hitungan menit, tugasnya selasai.
“Aku senang melihat kamu seperti ini,” ujar Nurani. “Aku berharap kau selalu seperti ini.”
Nyak Ti tersenyum. Ia meraih rantang plastik dari tangan Nurani serta melangkah keluar rumah.
“Nyak. Apa perlu saya temani? Saya takut kalau ada apa-apa dengan Nyak di jalan nanti,” ujar Nurani dari pintu.
“Tak perlu Aini. Kau jagalah rumahku sebentar. Aku pergi tak lama,” ujar wanita tua itu. Nuraini mengangguk. Namun sepertinya ia masih penasaran dengan tingkah Nyak Ti.
“Tak bisa kah Nyak memberitahuku mau kemana? Kalau seandainya nanti ada apa-apa, aku takut disalahkan sama orang,” ujar Nuraini lagi. Sedangkan orang yang ditanya hanya tersenyum.
Nyak Ti meneruskan niatnya. Ia berbalik badan dan menelusuri jalan kampung Paloh. Suasana terlihat sepi. Hanya satu dua lelaki yang ditemuinya di sepanjang jalan. Sejak konflik Aceh, memang banyak pria di kampung itu yang memilih keluar.
Bagi yang terlibat GAM, mereka telah bergabung dengan pasukan nanggroe. Mungkin saat ini sedang di hutan atau pedalaman Aceh. Atau, ya kuburan. Sedangkan bagi sebahagian lainnya yang tak terlibat GAM, memilih hijrah ke Banda Aceh, Jakarta atau Malaysia. Ini agar tak menjadi korban salah cari.
Nyak Ti berjalan dengan cepat. Ia takut jika berpas-pasan dengan TNI. Karena memang di jalan desa itu, hampir saban hari dilalui pria berpakaian loreng yang menenteng senjata. Ia tidak ingin jadi korban salah sasaran.
Nyak Ti berkali-kali mengamati kondisi rantang makanan yang dijinjingnya. Takut jika kuahnya tumpah akibat miring. Hatinya berdebar-debar karena akan berjumpa dengan seseorang yang sangat dicitainya. Matanya basah jika mengingat sosok itu. Hatinya sedih. [Bersambung]
Cerita bersambung ini Karya Musa AM
Discussion about this post