ISTILAH tipu Aceh begitu melekat bagi pecinta sejarah di tanah air. Istilah ini sebenarnya diberikan oleh penjajah Belanja yang begitu sulit menguasai Aceh. Dikisahkan, bagaimana orang Aceh ‘menipu’ armada kapal perang Belanda yang hendak mendarat di Aceh dengan ‘meriam’ putih di pesisir Aceh.
Kemudian bagaimana Teungku Umar ‘menipu’ Belanda dengan pura-pura menyerah dan bekerjasama serta berakhir dengan perlawanan dan membawa lari puluhan senjata untuk pejuang Aceh. Selanjutnya, ada lagi sejumlah kita tipu-tipu Aceh lainnya menjadi buah bibir di nusantara.
Namun, dibalik semua kisah tentang tipu Aceh ini, sebenarnya ada tipu lain di nusantara yang begitu melengenda. Tipu tersebut bernama ‘tipu Jakarta’ yang membuat orang Aceh kerap tertipu.
Contohnya, bagaimana Daud Beureueh tertipu dengan air mata Sukarno. Aceh yang semestinya bisa berdiri sendiri akhirnya bergabung dengan Indonesia dan menjadi modal bagi negara ini untuk lepas dari penjajahan Belanda.
Bagaimana orang Aceh tertipu dengan perjanjian Lamteh. Presiden Soekarno menjanjikan otonomi untuk menerapkan syariah Islam. Alih-alih dipenuhi, Soekarno justru melebur Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Daud Beureueh kemudian memberontak dan kisah kemudian berakhir dengan pengkhianatan oleh pengikutnya sendiri.
Bagaimana Aceh juga tertipu dengan air mata Megawati yang menyebut diri sebagai ‘Cut Nyak’ agar terpilih sebagai presiden Indonesia. Megawati yang terpilih sebagai presiden kemudian malah memberlakukan Darurat Militer (DM) untuk Aceh.
Ribuan masyarakat Aceh kemudian menjadi korban militer. Kuburan massa ditemukan di sejumlah tempat. Luka lama pun menyelimuti warga Aceh yang mayoritas pada saat itu sudah mulai aktipati terhadap pemerintah pusat yang berada di Jakarta.
Perjanjian Helsinki
Perjanjian MoU Helsinki terjalin pada 15 Agustus 2015. Saat itu harapan masyarakat Aceh untuk pemerintah pusat kembali bersemi. Apalagi Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu pernah mengatakan, “Apapun diberikan untuk Aceh asal jangan minta merdeka.”
Namun, kini usia perdamaian Aceh sudah mencapai 10 tahun lebih. Jika kita menilik pada kesepakatan sebelumnya, maka bisa dikatakan Aceh hampir kembali ‘ditipu’ oleh pemerintah pusat di Jakarta.
Poin Aceh yang berhak memiliki bendera dan lambang sendiri hingga kini belum juga diakui oleh pemerintah pusat. KKR Aceh juga diabaikan oleh pusat. Demikian juga dalam pengaturan Sumber Daya Alam (SDA) yang berada di Aceh. Mayoritas masih dikendalikan oleh pemerintah pusat di Jakarta.
Sejumlah kewenangan Aceh lainnya yang kini belum juga tuntas di tangan pemerintah pusat. Keadaan ini diperparah lagi dengan hilangnya kekompakan dari barisan mantan kombatan GAM yang membuat Jakarta mulai memadang Aceh dengan sebelah mata.
Jika kita bertanya siapa yang menang antara tipu Aceh dengan tipu Jakarta, maka jawabannya tentu dapat dinilai sendiri oleh para pembaca. Sayangnya, kondisi ini belum sepenuhnya diketahui oleh mayoritas masyarakat di Aceh. Masyarakat Aceh masih sibuk dengan ‘nasi sisa’ yang diberikan oleh pemerintah pusat. Inilah kondisi Aceh hari ini.
Penulis adalah Amri bin Musa, Warga Aceh yang saat ini sedang berwirausaha di Jawa Tengah.
Discussion about this post