MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Debat calon gubernur dan wakil gubernur Aceh putaran ketiga yang digelar Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh di Hotel The Pade, Aceh Besar, diwarnai kericuhan. Salah seorang pendukung pasangan calon nomor urut satu, Bustami Hamzah-H. Fadhil Fahmi, melakukan tindakan kekerasan terhadap pendukung pasangan nomor urut dua, Muzakir Manaf (Mualem)-Dek Fadh. Korban dihempaskan ke lantai lalu digitok dengan kaki, sebelum keributan berhasil dilerai.
Tgk H Muhamamd Nur MSi, Juru Bicara Badan Pemenangan Mualem – Dek Fadh mengatakan, tindakan yang dilakukan oleh tim paslon 01 sebagai refleksi langsung dari pernyataan Abu Mudi yang beberapa waktu lalu menyebut ingin “menggitok” Dek Fadh dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Dayah Misbahul U’lum Diniyah Al-Aziziyah, Bireuen Bayen, Aceh Timur.
Ia menilai insiden tersebut sebagai dampak dari ujaran provokatif yang tidak seharusnya dilontarkan oleh seorang ulama.
“Ulama adalah teladan bagi umat, bukan pemicu perpecahan atau kekerasan. Ketika seorang tokoh agama mengeluarkan pernyataan yang memancing emosi, murid dan pengikutnya cenderung meniru perilaku tersebut. Ini seperti peribahasa, ‘Bila guru kencing berdiri, muridnya akan kencing berlari,’” ujar Tgk. Muhammad Nur.
Ia menegaskan, ulama yang terlibat dalam politik harus mengedepankan akhlak mulia sesuai ajaran Islam.
“Bukan berarti ulama tidak boleh berpolitik, tetapi politik ulama harus santun, adil, dan menjaga persatuan. Bukan menjadi ulama politik yang hanya mementingkan kelompok atau keluarga,” tambahnya.
Selain itu, Tgk. Muhammad Nur juga mengkritik gaya komunikasi Bustami Hamzah atau Ombus, yang sebelumnya menyebut “mereka tidak sekolah.” Ucapan tersebut dianggap menghina banyak pihak, termasuk mantan kombatan GAM dan pendukung Mualem-Dek Fadh.
“Jika sasaran ucapan itu adalah Mualem, jelas salah besar. Mualem adalah lulusan Akademi Militer Libya. Jika sasarannya pendukung Mualem, perlu diingat bahwa banyak dari mereka berpendidikan tinggi, bahkan bergelar doktor. Calon pemimpin harus mencerminkan kebijaksanaan, bukan asal berbicara tanpa dasar,” tegasnya.
Tgk. Muhammad Nur juga mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai calon pemimpin yang menunjukkan sifat licik dan munafik.
“Islam melarang kita memilih pemimpin dengan sifat seperti itu. Jangan mencari pembenaran setelah terbukti melakukan pelanggaran. Pemimpin yang seperti ini tidak layak memimpin Aceh,” tandasnya.
Kericuhan dalam debat ini menjadi peringatan bahwa para tokoh, baik ulama maupun politisi, harus menjaga sikap dan ucapan agar tidak menimbulkan provokasi di tengah masyarakat. Kejadian ini juga menuntut kedewasaan dalam berdemokrasi, terutama saat kompetisi politik semakin memanas.
Discussion about this post