MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama (PKMB) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menyelenggarakan Forum Moderasi Beragama dengan tema “Pentingnya Penguatan Moderasi Beragama di Tengah Pesatnya Perkembangan Iptek dan Modernisasi.”
Acara ini merupakan hasil kerja sama antara UIN Ar-Raniry dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI, yang berlangsung pada Kamis (18/7/2024) di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Forum diskusi yang dipandu Dr Abd Razak, Lc MA menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Prof Dr Masykuri Abdillah MA, Staf Khusus Wakil Presiden RI, dan Tgk H Faisal Ali, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
Rektor UIN Ar-Raniry, Mujiburrahman, dalam sambutannya menyatakan bahwa isu moderasi beragama di Indonesia saat ini sangat penting dalam konteks, signifikansi, dan relevansi, serta menjadi program nasional.
“Program Moderasi Beragama yang awalnya berada di ranah Kementerian Agama, dengan keluarnya Perpres Nomor 58 Tahun 2023, kini menjadi program strategis di berbagai kementerian lainnya,” ungkap Mujiburrahman.
Lebih lanjut, Mujiburrahman menjelaskan bahwa di Kementerian Agama RI, Program Moderasi Beragama menjadi salah satu dari tujuh program strategis di kementerian tersebut.
“Dengan adanya moderasi beragama diharapkan tercipta harmonisasi. Dalam konteks Islam, diharapkan menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi negeri kita. Semakin harmonis tiga pilar: antara Tuhan, manusia, dan alam, maka rahmatan lil ‘alamin akan terwujud,” pungkas Prof. Mujiburrahman.
Hastuti Wulanningrum, yang mewakili Direktorat Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kominfo RI, dalam sambutannya menyampaikan bahwa sebagai negara multikultural, keragaman di Indonesia harus tetap dijaga dan diharapkan tetap eksis dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa.
“Sebagai bentuk pengamalan nilai-nilai Pancasila, moderasi beragama merupakan upaya mengambil jalan tengah dalam menyikapi maraknya persoalan keberagaman,” ujarnya.
Menurutnya, perkembangan dunia digital telah menyentuh segala aspek kehidupan, sehingga diperlukan pengelolaan yang baik agar masyarakat mampu menerima digitalisasi dengan pemahaman yang baik, sehingga terhindar dari informasi yang tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Moderasi beragama adalah kunci terciptanya toleransi dan kerukunan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Dengan demikian, setiap umat beragama dapat memperlakukan orang lain dengan hormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dengan damai dan rukun,” tutup Hastuti Wulanningrum.
Sementara itu, Prof Masykuri dalam pemaparan materinya menekankan bahwa aspek teologis dan historis memiliki peran krusial dalam penanaman nilai moderasi beragama di masyarakat Indonesia. Meskipun praktik moderasi beragama sudah berlangsung lama, ia menilai program penguatan moderasi beragama oleh pemerintah sebagai solusi mengatasi perpecahan berbasis perbedaan agama.
“Moderasi beragama dapat dibagi dalam tiga konteks: pertama, sesama manusia dengan prinsip toleransi; kedua, bernegara dengan menerima sistem dan ideologi negara, termasuk hukumnya; dan ketiga, modernisasi dan budaya lokal, di mana beragama dengan baik berarti tidak terlalu konservatif namun tetap mengedepankan hal-hal prinsipil dalam ajaran agama,” ujarnya.
Ia menambahkan, moderasi beragama menghargai keberagaman tanpa mencampuradukkan doa-doa antar agama.
“Saat ini kebingungan terjadi di antara umat beragama karena praktik toleransi dilakukan hingga dalam konteks ibadah. Misalnya, dalam salam lintas agama, perlu dipahami bahwa dalam salam setiap agama terdapat unsur doa sesuai ajarannya masing-masing, yang merupakan ranah ibadah yang tidak bisa dicampuradukkan,” jelasnya.
Sementara itu, Tgk Faisal Ali menekankan bahwa umat beragama di Aceh telah diberi kewenangan untuk menjaga daerahnya dari paham anti-moderasi dengan berpegang pada nilai-nilai Islam Wasathiyah yang telah lama tertanam dalam kultur keagamaan di Aceh.
“Di Aceh, tidak menghargai adat istiadat adalah tindakan anti-moderasi beragama, terutama mengingat bahwa kultur bermasyarakat di Aceh bernafaskan Islam. Tindakan yang tidak menghormati nilai keislaman dalam formalitas pemerintahan adalah tindakan yang tidak moderat. Menghargai Aceh dalam urusan syariat Islam adalah tindakan moderasi beragama,” tegasnya.
Sebagai solusi untuk menanggulangi praktik intoleransi, Tgk Faisal Ali menyebut bahwa Islam telah mengajarkan nilai-nilai moderasi beragama. Pemahaman yang tidak sesuai dengan tujuan dalam syariat (maqashid asy-syariat) adalah yang membangun pemahaman kontra-moderat dalam Islam.
“Masalah yang muncul baik liberal maupun radikal terjadi karena kita meninggalkan nilai-nilai yang ditanamkan dalam turats Islami oleh ulama sejak dahulu. Kembali kepada referensi yang kredibel dalam turats akan secara otomatis menciptakan moderasi di tengah masyarakat,” tutupnya.
Peserta kegiatan ini terdiri dari berbagai kalangan perwakilan dari berbagai institusi pendidikan, organisasi masyarakat, lembaga mahasiswa dan media massa. []
Discussion about this post