MEDIAACEH.CO, Aceh Timur – Zufrizal atau akrab dipanggil “Komandan Ladeh” (sandi GAM), salah seorang martir yang masih hidup di Aceh Timur.
Pria berpostur tegap, dan memiliki tatapan mata yang tajam, begitulah sekilas perawakan mantan kombatan GAM Sagoe Pentagon Peureulak ini.
Pasca perjanjian MoU Helsinki, semua pasukan GAM turun gunung kembali berkumpul dengan keluarga mereka, lain halnya dengan sosok “Dan Ladeh”, dia belum bisa menerima perjanjian damai RI- GAM ini karena menurut dia, Aceh harus merdeka karena sudah banyak yang dipertaruhkan termasuk nyawa, harta dan martabat.
Namun karena ajakan dari “ureung tuha” GAM saat itu, dia mengalah dan menerima pernjanjian damai tersebut.
Jala, salah satu prajurit GAM di bawah komando Ladeh, bercerita, “komandan” (Ladeh) pada saat Aceh berkecamuk perang, adalah salah satu “pasukan khusus” kepercayaan Abu Syiek (Ishak Daud). Senjata yang di gunakan “Dan Ladeh” adalah “harsyah” atau senapan serbu, yaitu senjata laras panjang sekelas minimi (100 atau 200 sabuk peluru).
Hampir semua peperangan di wilayah Peureulak diikutinya, hal ini dikarenakan dia adalah pasukan khusus yang sering di BKO-kan oleh Ishak Daud ke hampir semua medan peperangan.
“Pernah suatu waktu, ketika Ishak Daud syahid, Ladeh yang mendengar kabar tersebut, langsung memerintahkan kepada seluruh anak buahnya termasuk saya, untuk berperang sampai mati, kalau tidak mati berarti dia pengkhianat, saya yang mendengar perintah tersebut sempat merinding, tapi apa boleh di kata, kita anak buah harus patuh dan tunduk pada atasan,” kenang Jala.
Jala juga bercerita ketika Ishak Daud menerima sejumlah wartawan untuk konferensi pers, ada salah satu wartawan yang mengambil foto Ladeh, karena dia terlihat seperti tentara Rusia yang berperawakan tinggi tegap memakai sebo dan dilengkapi dengan peralatan perang yang lengkap, Ladeh menunjuk wartawan itu untuk segera menghapus fotonya, karena dia takut foto itu tersebar dan sampai ke orang tuanya, maklum karena dia adalah satu satunya anak laki- laki di keluarga, dan bahkan orang tua nya menangis saban hari mendoakan Ladeh.
Pasca MoU Helsinki banyak para kombatan GAM terjun ke dunia politik, ada yang mencalonkan sebagai gubernur, bupati bahkan anggota DPR tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, bahkan ada juga yang menjadi timses untuk calon yang diusung, lain halnya dengan Ladeh, dia mengasingkan diri dari kawan- kawan seperjuangannya yang sudah terlibat politik praktis.
Dia bekerja serabutan dan bahkan sampai menjadi mandor sawet. Bagi dia, perjuangan GAM adalah untuk memakmurkan rakyat Aceh. Hampir 20 tahun Aceh berdamai dengan NKRI, baru kali ini dia turun gunung ke kencah politik untuk mendukung Iskandar Al Garlaky menjadi calon bupati, karena baginya sosok Al Farlaky adalah magnet bagi GAM dan masyarakat Aceh Timur.
Ketika ditanya tentang akhir – akhir ini banyak isu dan berita yang memojokkan Al Farlaky, dia hanya menjawab masyarakat Aceh Timur tidak terpengaruh dengan berita- berita itu.
“Buktinya sudah 3 periode beliau di percayakan oleh rakyat menjadi anggota DPRA, ini menandakan sosok Al Farlaky adalah tokoh yang sangat central di Aceh Timur, dan ingat!! Saya adalah orang yang paling depan membela beliau ketika ada oknum- oknum yang ingin mencelakai nya,” terang Ladeh.
Menurutnya, isu beasiswa ini sudah bergulir dari tahun 2018, tapi buktinya di pemilihan 2019 Al Farlaky menjadi incumbent pemilik suara terbanyak di DPR Aceh, dan tahun 2024 Al Farlaky juga menjadi pemilik suara paling banyak di dapil Aceh Timur.
“Ini bukti bahwa sosok Al Farlaky sudah mengakar rumput di Aceh Timur,” kata Ladeh.
Discussion about this post