MEDIAACEH.CO, Aceh Utara – Sebagian kaum ibu di kawasan pedalaman Aceh Utara masih melakukan top teupong (menumbuk beras menjadi tepung) mengunakan alat tradisional jeungki. Ada dua jenis beras yang ditumbuk menjadi tepung, yakni beras putih dan beras ketan (pulut).
Seperti halnya yang dilakukan Saudah (47) warga Gampong Cempedak, Kecamatan Paya Bakong. Hingga saat ini dirinya masih setia menggunakan jeungki, menghasilkan tepung sebagai bahan dasar membuat kue.
“Selain menumbuk tepung untuk keperluan pribadi, di sini kami juga menerima orderan dari masyarakat sekitar. Untuk satu bambu beras (setara 1,5 kilogram) kami menerima upah Rp 15ribu. Biasanya orderan membludak saat Ramadhan atau menjelang lebaran. Itu orderan lancar setiap harinya. Kalau hari biasa seperti sekarang, hanya ada orderan sesekali saja,” ujar Saudah saat ditemui mediaaceh.co, Kamis, 24 Agustus 2023.
Kata Saudah, ada beberapa jenis kue tradisional yang rasanya lebih renyah dan legit jika dibuat menggunakan tepung yang ditumbuk menggunakan jeungki. Di antaranya, timpan, boh rom rom (klepon atau onde-onde), keukarah (sarang burung), nyap (kembang loyang) dan lainnya.
“Memang proses membuat tepungnya sedikit repot bagi yang tidak biasa. Setelah ditumbuk, tepung diayak menggunakan kain berserat halus, kemudian dijemur selama beberapa hari sampai benar-benar kering. Jika kurang kering, maka kue yang dihasilkan akan berbau hingga mempengaruhi rasa,” ucap Saudah.
Sekali tumbuk, lanjutnya, jeungki yang mereka gunakan bisa memuat dua bambu beras (3 kilogram). Untuk proses tumbuk dibutuhkan dua orang yang bekerja sama, satu orang sebagai penginjak jeungki, sedangkan satu orang lainnya bertugas merapikan beras yang ditumbuk dalam lesung.
“Kerjanya terkesan enteng, tapi kalau tidak hati-hati bisa melukai tangan terutama saat merapikan beras agar tidak berserakan keluar dari lesung,” tukas Saudah sambil tersenyum.
Kapolsek Paya Bakong, Ipda Iskandar yang ditemui di lokasi mengatakan, saat sedang olahraga jalan santai beberapa waktu lalu, dirinya tidak sengaja melihat ada aktivitas top teupong yang masih dilakoni kaum ibu Gampong Cempedak. Baginya, aktivitas itu cukup menarik karena sudah jarang ditemui, terutama di kawasan perkotaan.
“Sekarang ini kan sudah serba praktis, jika perlu tepung untuk membuat kue tinggal beli saja di kedai. Namun di sini masih diolah secara tradisional, menandakan sebagian kaum ibu pedalaman masih melestarikan tradisi indatu (nenek moyang). Semoga tetap lestari hingga turun-temurun ke anak cucu,” kata Iskandar.
Sementara itu, Geuchik Gampong Cempedak, Abdul Kadir membenarkan, di gampong tersebut masih berjalan tradisi top teupong, khususnya jelang Ramadhan dan lebaran.
“Di sini ada beberapa rumah yang di halamannya masih ada jeungki, namun yang masih aktif ya di sini. Di rumah saya juga ada satu peninggalan nenek dahulu, tapi sudah tidak bisa digunakan lagi karena kayunya sudah lapuk. Bisa dikatakan ini juga home industri, karena pelaku usaha menerima orderan meski dalam skala kecil,” pungkas Abdul Kadir. []
Discussion about this post