SEPERTI yang sering terjadi akhir-akhir ini yang menghiasi deadline berita dan media sosial adanya tindak kekerasan seperti tawuran antar pelajar, pembegalan, bullying, pelaku pelecehan, pembunuhan dan tindak kejahatan lainnya.
Menyedihkan memang. Banyak pelajar yang berperilaku nakal, kasar, brutal, bahkan sampai pada tingkat kriminal. Maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar akhir-akhir ini, membuat semua kalangan bingung untuk menemukan solusi tepat dalam menghadapi masalah tersebut.
Apakah kekerasan pelajar ini sudah membudaya di kalangan para pelajar kita? Belum lekang dalam ingatan, penganiayaan yang dilakukan seorang pelajar SMP di Sukabumi hingga menewaskan seorang pelajar SD.
Demikian juga kasus Mario Dandy, seorang pelajar anak dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak menganiaya David hingga mengalami koma berhari-hari.
Hingga viral di media sosial memperlihatkan seorang siswa SMA mengamuk bawa parang ke sekolah gegara dirinya yang tak terima di tegur guru saat jam pelajaran olahraga.
Tak terkecuali, tawuran antar pelajar juga terjadi bumi serambi mekah, tepatnya di Lhokseumawe 12 Februari 2023. Mirisnya lagi, di kota ini juga seorang pelajar berusia enambelas tahun diperkosa teman dekatnya di kamar mandi sekolah. Parah.
Fenomena ini menjadi sebuah tamparan bagi dunia pendidikan kita.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang dua bulan pertama pada 2023 sudah tercatat ada enam kasus tindak perundungan atau kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual di sekolah.
Teranyar, tiga remaja membacok mati pelajar sukabumi sambil live IG (23/3), gegara korban menuduh para pelaku melakukan vandalisme di gedung sekolahnya.
Sebenarnya, UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 telah mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan yang dapat mencetak insan terdidik yang beradab.
Jauh sebelumnya, Pancasila telah mengamanatkan untuk membentuk manusia yang adil dan beradab. Siapa yang seharusnya disalahkan dalam hal ini? Apakah orang tua, guru di sekolah, atau lingkungan pergaulan anak?
Pasalnya, peran guru saat ini menjadi sorotan yang paling tajam, ketika para pelajar melakukan tindakan yang melanggar norma-norma. Seakan-akan, pelanggaran ini disebabkan oleh faktor lingkungan sekolah saja yang tidak bisa mendidik para pelajar dengan baik.
Masalah ini menjadi tantangan bagi kita semua, terutama bagi orang tua dan para pendidik khususnya guru di sekolah.
Tidak dapat dihindari bahwa kondisi zaman sekarang dapat membuat anak dapat mengakses informasi dari mana saja sehingga mereka memiliki peluang yang sangat besar untuk meniru perilaku negatif atau bahkan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan yang tidak masuk akal.
Kurangnya pengawasan juga bisa menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pelajar. Kurangnya pengawasan oleh orang tua atau guru di rumah dan sekolah dapat memperburuk perilaku siswa dan meningkatkan tindakan kekerasan. Kemudian didukung kurangnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan yang berfokus pada nilai-nilai sosial dan moral.
Sistem pola asuh yang tidak tepat, kondisi lingkungan yang tidak kondusif, pengawasan orang tua yang terlalu percaya pada anak, serta kondisi-kondisi lainnya, semuanya memperparah situasi dalam mendidik.
Sementara itu, anak yang terlalu dikekang, terlalu banyak dimarahi, dan tidak dihargai di lingkungan keluarganya, juga bisa menjadi penyebab anak menjadi brutal dan bertindak di luar batas kemanusiaan.
Masalah sosial juga dapat menjadi pemicu kekerasan yang dilakukan oleh pelajar. Hal itu mungkin bisa terjadi karena adanya tekanan sosial dari kelompok sebaya atau masyarakat dapat memicu perilaku kekerasan. Atau mungkin karena ketidakpastian dan ketidakamanan dalam kehidupan pelajar, baik dari segi ekonomi, lingkungan, atau keluarga, di mana semuanya dapat dapat memperburuk perilaku pelajar dan meningkatkan tindakan kekerasan.
Kurangnya penanganan dan pengawasan oleh pihak sekolah terhadap tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah dapat memperparah situasi dan meningkatkan tindakan kekerasan tersebut. Faktor lainnya, adanya orang tua yang merasa tidak menerima atas hukuman yang diberikan kepada anaknya dengan alasan guru melanggar HAM dan sejenisnya.
Akibatnya, guru merasa khawatir dan bersikap defensif dan mencari perlindungan, sehingga sulit untuk menegakkan disiplin terhadap siswa, terutama jika ada keluarga siswa yang tidak sejalan dengan aturan yang diterapkan di sekolah.
Artinya, anak-anak bisa saja berbuat brutal atau melakukan kesalahan karena didorong oleh situasi yang memanjakan dan didukung dengan arus zaman yang semakin kompleks dan penuh dengan tantangan. Persoalan ini akan terjawab bila kita semua menyadari peran dan tanggung jawab masing masing.
Tentunya, pendekatan holistik memiliki andil besar dalam menyelesaikan kasus kekerasan yang sedang marak. Pendekatan yang holistik dan terintegrasi yang dimaksud adalah melibatkan semua stakeholder, termasuk siswa, guru, orang tua, dan masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini.
Faktanya, karakter anak-anak sekarang merosot drastis seolah-olah mereka tidak pernah dididik oleh orang tua maupun guru-gurunya. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama yang kuat antara orang tua dan guru-guru di sekolah untuk membentuk karakter anak-anak sehingga mereka dapat menjadi generasi yang lebih baik di masa depan.
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan, terutama oleh guru di sekolah. Pertama, penegakan aturan dan tata tertib yang lebih tegas di sekolah. Jika siswa melakukan pelanggaran yang bersifat kriminal, mereka harus dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah. Hal ini diharapkan dapat membuat orang tua lebih bijaksana dan membuat anak menyadari kesalahannya.
Kedua, perlu diadakan pembiasaan yang mendorong terciptanya generasi yang berkarakter Pancasila, seperti yang diusulkan oleh pemerintah melalui penerapan Kurikulum Merdeka.
Ketiga, orang tua, guru, dan stakeholder sekolah harus bersinergi untuk mendukung gerakan hidup rukun dan damai demi terciptanya kehidupan yang aman, nyaman, dan saling peduli. Hal ini diharapkan dapat menjaga kedamaian dan keamanan di lingkungan sekolah.
Keempat, perlindungan hukum terhadap guru, dan lembaga sekolah yang terkait dengan kemajuan anak di sekolah harus ditingkatkan. Hal ini diharapkan dapat membuat tenaga pendidik merasa nyaman dalam proses mencerdaskan anak bangsa.
Mendidik memang tidak semudah membalikan telapak tangan, butuh proses panjang yang harus dilalui, untuk melahirkan generasi yang mempunyai budi pekerti dan intelektual tinggi. Mendidik itu harus keras, tapi bukan dengan cara kekerasan, mendidik itu harus tegas, tapi bukan dengan cara menindas. Mendidik itu butuh keikhlasan, meskipun berat untuk dijalankan.
Penulis adalah Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Ketua Daerah IGI Bireuen
Discussion about this post