MEDIAACEH.CO, Jawa Barat – Sejumlah geuchik dari Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara telah berangkat mengikuti kegiatan Bimbingan teknis (Bimtek) ke Bogor, Jawa Barat sejak beberapa hari lalu. Dalam kesempatan itu, mereka menyempatkan diri ziarah kubur ke makam pahlawan Nasional asal Aceh, Cut Nyak Dhien.
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – dan meninggal di Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908. Cut Nyak Dien diasingkan ke Jawa Barat karena melakukan perlawanan terhadap Belanda. Beliau melanjutkan perjuangan suaminya, Ibrahim Lamnga yang meninggal di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Aceh Zaini Abdullah – Muzakir Manaf, Pemerintah Aceh melakukan pemasangan prasasti di komplek makam Cut Nyak Dhien yang ditandatangani pada 17 Agustus 2013 lalu. namun dalam prasasti tersebut bertuliskan beberapa informasi yang kurang tepat , menurut sang penjaga makam yang kerap dipanggil Pak Markam.
Tulisan di prasasti nisan area makam, tertulis Cut Nyak Dhien tinggal di Rumah KH Ilyas. Padahal dalam kenyataan tidak ada hubungan keluarga antara Cut Nyak Dhien dengan KH Ilyas.
“Ia bukan kiai, haji juga belum, sosok Ilyas hanya pembantunya KH Sanusi. Ini alasan saya lakban dan saya ganti dengan nama KH Sanusi,” terang Pak Markam kepada rombongan geuchik asal Kecamatan Lhoksukon.
Lanjutnya, tulisan Cut Nyak Dhien tinggal di Rumah Hajah Soleha, padahal sosok itu tidak ada, yang ada adalah sosok Siti Hodijah bin H Husna Bin KH Sanusi, cucu KH Sanusi dan pemilik tanah yang digunakan sebagai makam Cut Nyak Dien saat ini.
“Nah, Siti Hodijah inilah yang dijadikan cucu angkat oleh Cut Nyak Dien,” ujar Pak Markam kepada Kasi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Lhoksukon, Samsul Bahri yang ikut mendampingi para geuchik ke Sumedang.
Dijelaskan, tulisan KH Sanusi hanya sebagai guru agama. Padahal dalam kenyataannya, sosok KH Sanusi merupakan ulama besar rakyat Sumedang, dan berkontribusi dalam pembangunan Masjid Agung Sumedang.
Kemudian, lanjutnya, tertulis selama di Sumedang Cut Nyak Dhien tidak pernah keluar rumah. “Itu adalah informasi yang salah, sebenarnya setiap hari Cut Nyak Dhien keluar rumah. Nah, seharusnya tulisan itu tidak ada atau ditutup,” ujar Pak Markam.
Tulisan di prasasti juga menceritakan selama di Sumedang Cut Nyak Dhien belajar mengaji. Padahal, sejatinya justru dia memberikan ilmunya bagi masyarakat selama dua tahun di Sumedang.
“Beliau itu seorang hafizah Quran 30 juz, yang mampu mengajarkan Al-Qur’an kepada masyarakat dan mengisi pengajian di Masjid Agung Sumedang,” kata dia.
Tak ayal dengan segudang jasa besarnya dalam lembaran agama Islam di Sumedang, masyarakat Kota Tahu itu menyebutnya dengan ragam sebutan baik bagi Cut Nyak Dhien sejak lama.
“Beliau di Sumedang disebut ibu Perbu, ibu Ratu dan ibu suci sebagai penghargaan kepada pejuang asal Aceh dan sebagai guru mengaji,” ujar Pak Markam bangga.
Pak Markam memperlihatkan lagi informasi yang salah di prasasti tersebut, di mana Cut Nyak Dhien disebutkan dirawat oleh KH Sanusi. “Masak ia yang seorang perempuan dirawat oleh laki-laki, kan tidak mungkin. Seharusnya oleh keluarga KH Sanusi,” cetus Pak Markam.
Ia juga menyampaikan harapannya kepada pemerintah Aceh untuk melakukan perbaikan terhadap sejarah singkat yang tertuang dalam prasasti tersebut.
“Lebih baik diubah atau dibongkar. Satu lagi, selama di Sumedang Cut Nyak Dhien tidak punya rumah, beliau hanya tinggal saja di rumah KH Sanusi. Perlu diketahui juga, Cut Nyak Dien tidak meninggalkan harta benda sedikit pun di Sumedang”, terang Pak Markam.
Hal senada juga dikatakan Samsul Bahri. “Saya harap Pemerintah Aceh segera melakukan perbaikan atau renovasi terhadap prasasti di komplek makam Cut Nyak Dien tersebut. Ini harus dilakukan agar tidak terjadi penyesatan sejarah,” pungkasnya.[]
Discussion about this post