MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Dalam kurun waktu 63 tahun terakhir sejak tahun 1959, kondisi pendidikan Aceh mengalami pasang surut.
Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, baik akibat konflik senjata yang berkepanjangan, musibah tsunami tahun 2004, dan yang teranyar adalah pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Aceh.
Oleh karena itu, diperlukan upaya reformasi secara menyeluruh pendidikan di Aceh, khususnya pendidikan pra sekolah serta pendikan dasar dan menengah.
Pernyataan itu disampaikan Wali Nanggroe Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haytar dalam sambutannya Selasa 31 Mei 2022, di Gedung Baru Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe menjelaskan, kehadiran Wali Nanggroe di Kopelma Darussalam dalam rangka memenuhi undangan halal bi halal yang dilaksanakan oleh Ikatan Keluarga Alumni (IKA) USK, melibatkan tiga lembaga pendidikan yang berada di Kopelma Darussalam, yaitu USK, UIN Ar-Raniry dan STIK Tgk. Chik Pante Kulu.
Pada kesempatan tersebut, Wali Nanggroe kembali mengingatkan, pada masa kerajaan, khususnya Kerajaan Aceh Darussalam, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat di berbagai sektor, antara lain pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu hukum, seni budaya, militer dan bahkan olahraga.
Pada masa Sultan Iskandar Muda, Aceh menjadi salah satu pusat perkembangan pendidikan di Asia Tenggara. Wali Nanggroe juga menegaskan, sejarah kegemilangan Aceh pada masa kerajaan bukan sekedar bahan nostalgia masa lalu, tapi juga harus dijadikan sebagai guru, untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dan pesan-pesan kepada generasi muda.
“Begitu pula tentang sejarah Kopelma Darussalam. Pelajari sejarahnya, berpegang teguh pada nilai-nilai historis pendirian Kopelma Darussalam ini,” kata Wali Nanggroe.
Kehadiran Kopelma Darussalam, tambah Wali Nanggroe, tidak terlepas dari sejarah Perjanjian Lamteh pada 7 Maret 1957, sebagai ikrar damai dan membangun kembali Aceh, termasuk salah satunya di sektor pendidikan.
“Sejarah ini wajib diketahui secara baik oleh generasi muda Aceh, termasuk kesepakatan damai MoU Helsinki 15 Agustus tahun 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia. Jangan pernah lupakan sejarah kita,” tegas Wali Nanggroe.
Bagi dunia Pendidikan Aceh, tahun 1959 tepatnya pada 2 September menjadi milestone atau tolak ukur, karena pada masa itu didirikan Kopelma Darussalam yang kemudian didalamnya berdiri tiga lembaga pendidikan yaitu, Unsyiah, IAIN Ar-Raniry yang kemudian menjadi UIN Ar-Raniry serta Dayah Manyang Tgk. Chik Pante Kulu yang kini menjadi STIK Tgk. Chik Pante Kulu.
“Tanggal 2 September 1959 kemudian dikenal Hari Pendidikan Aceh,” sebut Wali Nanggroe.
Di masa sekarang ini, Wali Nanggroe juga mengingatkan, menurut spirit Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, pendidikan yang dibangun di Aceh adalah yang bertaraf internasional. “Meskipun sekarang taraf nasional pun masih jauh tertinggal.”
Namun demikian, tambah Wali Nanggroe, saat ini masyarakat Aceh patut bersyukur atas capaian-capaian yang diraih Unsyiah dan UIN Ar-Raniry dengan berbagai prestasi yang diraih di level internasional.
“Dengan silaturrahmi Kopelma Darussalam hari ini, saya yakin kita dapat membuka era baru yang lebih konkrit lagi di bidang pendidikan di Aceh tercinta ini. Sehingga Aceh kembali menjadi sumbu peradaban modern, bukan hanya di nusantara, tetapi bahkan di dunia seperti masa silam, yang berpusat di Kopelma Darussalam ini,” kata Wali Nanggroe.
Discussion about this post