MEDIAACEH.CO, Aceh Utara – Sejumlah petani kebun di pedalaman Aceh Utara mengeluhkan perihal dugaan adanya oknum penjual sertifikat tanah di kawasan Kecamatan Langkahan. Pasalnya, lahan yang mereka garap tiba-tiba di klaim milik orang lain, sementara mereka juga telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).
Diki Junaidi (31) petani kebun asal Dusun Suka Jadi, Gampong Cot Girek, Kecamatan Cot Girek menyebutkan, dirinya memiliki lahan yang ditanami sawit dan telah memasuki masa panen di daerah paket 14, Gampong Seureuke, Kecamatan Langkahan.
“Sekarang tiba-tiba ada orang yang datang dengan membawa SHM dan mengklaim lahan itu miliknya. Anehnya, yang datang bawa sertifikat bukanlah yang namanya tertera di sertifikat itu, melainkan orang lain lagi,” ujar Diki.
Diakui Diki, dia membeli SHM bukan dari pemilik asli, melainkan dari temannya. “Saya membeli sebuah SHM seluas 2 Hektar area (Ha), meski lokasi tanah di sertifikat itu saya tidak tahu dimana. Tujuannya, jika sewaktu-waktu ada yang datang mengaku pemilik lahan, saya juga punya sertifikat. Saya beli sertifikat tanah itu bukan dari pemilik sertifikat lama, tapi dari kawan,” ucap Diki, Kamis, 13 Januari 2022.
Agus (56) warga Cot Girek lainnya menambahkan, dirinya didatangi oleh Geuchik Gampong Seureuke dan diminta membayar lahan yang digarapnya.
“Saya juga menggarap lahan di Seureuke. Kemudian saya ditelfon oleh geuchik setempat dan diminta datang ke Seureuke untuk membayar lahan yang saya garap. Setelah saya bayar Rp 25 juta, saya dikasih sebuah sertifikat tanah,” ungkapnya.
Selama ini, menurut Agus, banyak orang datang membawa sertifikat dan menakuti petani. “Kami membuka lahan itu tahun 2014 lalu, kenapa baru sekarang mereka datang dan mengakui lahan itu milik mereka,” kata Agus.
Hasbullah, warga yang sama menimpali, “Kami harap pihak BPN Aceh Utara segera memblokir SHM keluaran tahun 1994 agar tidak terjadi konflik di kemudian hari.”
Geuchik Gampong Seureuke, Aziz Rusmiono dikonfirmasi secara terpisah, Kamis, 13 Januari 2022, mengakui bahwa banyak sertifikat tanah di desanya menjadi sengketa. Menurutnya, sengketa muncul karena masyarakat sekitar menggarap lahan setempat saat konflik terdahulu.
Terkait adanya dugaan jual beli sertifikat dan saling klaim lahan, geuchik mengatakan, “Itu di luar pengetahuan pihak pemerintah Gampong Seureuke. Selama saya menjabat tidak pernah ada pengukuran ulang, kalau pemerintahan terdahulu saya tidak tahu.”
Selaku geuchik, lanjut Aziz, dirinya telah menginstruksikan kepada perangkat agar tidak melakukan pengukuran lahan atau sesuatu yang melanggar tanpa sepengetahuannya.
“Apa yang telah terjadi selama ini merupakan ulah oknum tertentu, tapi siapa pun oknumnya, kita di desa punya aturan. Ikutilah aturan yang ada, jangan main serobot saja karena bakal mengundang konflik baru,” tuturnya.
Terkait dugaan adanya perpindahan tangan sertifikat kepada orang lain, Aziz mengakui tidak tahu. “Seharusnya siapa pun yang melakukan transaksi jual beli, harus mengetahui pihaknya. Namun semua yang terjadi di luar sepengetahuan kami, dan itu tindakan ilegal, khususnya yang terjadi di Paket 14,7,8,13,15,16,17 dan 20,” beber Aziz.
Dilanjutkan, “lahan yang selama ini diklaim mempunyai sertifikat di Seureuke merupakan hutan belantara dan sudah ditelantarkan puluhan tahun. Sekarang hutan itu sudah berpenghuni dan sudah digarap para petani dan masyarakat. Itulah yang menyebabkan munculnya ratusan sertifikat dan kini menjadi konflik,” terangnya.
Ditambahkan, lahan-lahan itu dulu dikelola koperasi. Setelah koperasi tidak berjalan lagi, lahan dikembalikan kepada masing-masing pemilik.
“Dulu lahan itu memang pernah digarap, tapi tanaman tidak tumbuh berkembang karena dimakan gajah liar. Saat Aceh dilanda konflik berkepanjangan, pihak koperasi dan masyarakat tidak berani membersihkan lahannya,” jelas Aziz.[]
Discussion about this post