Penulis:
A. Wahab Abdi
Dosen FKIP Unsyiah Darussalam
Rektor Unsyiah Samsul Rizal mengatakan, hanya ada 10 SMA di Aceh yang mampu bersaing secara nasional. Sekolah-sekolah tersebut umumnya berada di seputaran Banda Aceh. Selain itu, mutu pendidikan Aceh masih berkutat pada urutan 25 secara nasional (Serambi, 17/5-20). Terakhir Rektor Unsyiah mengatakan bahwa hasil Tes Potensi Skolastik (TPS), Provinsi Aceh termasuk salah satu daerah yang berada di ranking bawah (Serambi, 22/09-20).
Tanpa bermaksud mempersoalkan bagaimana cara mengukur capaian tersebut, agaknya pernyataan Rektor Unsyiah ini menarik untuk ditelaah. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan capaian hasil Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2019, dan program Aceh Carong dan yang menjadi salah satu program kerja unggulan pasangan Irwandi-Nova saat kampanye.
Berbicara masalah mutu pendidikan yang diukur dengan menggunakan standar Ujian Nasional (UN) atau Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), sebenarnya membicarakan masalah “problem permukaan” – meminjam istilah Affan Ramli (Serambi, 19/3/2018) – pendidikan di Aceh. Kalau masalah di permukaan ini saja pendidikan Aceh begitu rumit dan masih menghadapi aneka problematika, sudah barang tentu masalah pada akarnya jauh lebih dilemmatis lagi. Ini bermakna pula bahwa progam Aceh Carong masih terperangkap dalam jerat problem klasik pendidikan kita.
Problem klasik
Tahun 2019 lalu, dunia pendidikan Aceh sedikit bereuforia. Sebab, berdasarkan hasil UNBK, mutu pendidikan mengalami perubahan yang cukup bermakna. Kebermaknaan ini tergambar dari posisi Aceh semakin baik secara nasional, dan jumlah siswa yang memperoleh skor sempurna juga meningkat tajam.
Berdasarkan peringkat nasional, mutu pendidikan Aceh naik dari urutan 34 ke 27. Tentu saja, ini suatu lompatan yang cukup berarti, walaupun masih berada di kelompok 10 besar dari bawah. Jumlah siswa yang memperoleh nilai sempurna UNBK meningkat tajam. Dari 5 siswa pada tahun 2018 menjadi 31 orang siswa tahun 2019. Secara komparatif peningkatan ini cukup menggembirakan, ada lompatan sampai 620 persen dari tahun 2018.
Namun, dengan adanya pernyataan Rektor Unsyiah, ternyata euforia ini hanya sesaat saja. Prestasi lulusan SLTA Aceh tahun 2018 yang mengalami lompatan lumayan bagus yang disambut gegap gempita, senyap seketika ditelan duka. Masyarakat dibuat terhenyak dengan kenyataan tersebut.
Apa sebabnya? Ternyata daya saing lulusan SLTA Aceh rendah sekali. Dari 625 SMA/MA negeri/swasta, serta 107 SMK negeri/swasta, tahun hanya 10 sekolah yang mampu bersaing secara nasional. Itupun beberapa sekolah yang berada di seputaran Banda Aceh. Kenyataan ini membuat dunia pendidikan Aceh kembali ditutupi mendung duka.
Pertanyaan besar yang cukup menantang saat ini adalah apa problema pendidikan di Serambi Mekkah ini, sehingga sulit sekali melepaskan diri dari keterpurukan. Pertanyaan ini perlu dicarikan jawaban tanpa henti sehingga menjadi pengingat semua pihak bahwa pendidikan Aceh masih dibelit oleh berbagai persoalan klasik. Tanpa memacahkan masalah klasik ini, maka program Aceh Carong adalah bagaikan orang mengejar bayangan sendiri.
Persoalan mutu guru, sebagaimana diungkapkan oleh Rektor Unsyiah adalah faktor penyebab mutu pendidikan rendah. Boleh jadi ada benarnya, karena ini merupakan problem klasik dunia pendidikan di seluruh Indonesia. Tapi faktor guru ini tidak berdiri sendiri. Banyak komponen pendidikan lain yang mempunyai korelasi dengan mutu pendidikan. Walaupun ada teori yang menjustifikasi bahwa apapun perbaikan yang dilakukan dalam bidang pendidikan hasilnya tidak akan maksimal jika gurunya tidak berubah. Ini bermakna bahwa mutu guru berperan amat penting untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan. Peran ini tak bisa digantikan oleh komponen pendidikan apapun lainnya, termasuk teknologi hipermutakhir sekalipun.
Profesionalisme guru
Karena posisi strategis ini pula, maka sudah seharusnya profesionalisme guru menjadi kunci. Pekerjaan guru harus betul-betul profesional. Untuk melahirkan guru yang profesional ini adalah pekerjaan besar, karena harus dilakukan secara terintegratif dan holistik dari hulu hingga ke hilir dengan kinerja yang profesional pula.
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai penghasil guru yang berada di hulu, dituntut adanya komitmen untuk menghasilkan guru yang profesional. Perlakuan khusus terhadap calon mahasiswa yang memilih jalur calon guru harus dilakukan sejak awal. Calon mahasiswa yang memilih LPTK sangat diharapkan karena dilatarbelakangi oleh dorongan hati nuraninya yang terindikasi dalam bentuk minat dan motivasi untuk menjadi guru. Bukan memilih program studi di LPTK sebagai pilihan alternatif, konon lagi alternatif pilihan yang ketiga dan keempat.
Lalu mahasiswa yang direkrut untuk masuk program studi pendidikan calon guru disyaratkan dengan kemampuan akademik yang memadai. Jumlah calon mahasiswa yang diterima tidak hanya sekedar untuk memenuhi kuota saja. Karena jika yang diterima banyak sesuai kuota, maka untuk selesai saja mereka sulit. Seringkali terancam droup out (DO), dan itu menjadi beban program studi di LPTK. Kalau banyak yang DO, maka ujung-ujungnya program studi dinilai berkinerja buruk.
Pada tingkat user yaitu instansi kependidikan juga dituntut berkinerja yang profesional, berkesinambungan, dan merupakan pospogram dari LPTK. Tugas instansi ini berat. Di samping mengurus sarana dan prasarana fisik, juga mengurus sumber daya manusia (SDM) pendidikan dengan manajemen yang profesional. Namun kewajiban untuk terus meningkatkan profesionalisme guru tidak boleh diabaikan. Teknisnya banyak pilihan. Dapat dalam wujud program melanjutkan pendidikan ke jenjang lanjut, atau dalam bentuk diklat, dan upgreding secara kontinyu dan berkesinambungan.
Selama ini wadah dan ruang pengembangan profesionalisme guru sering kali digunakan berdasarkan kehendak manajemen rangkang. Tiba-tiba guru dapat tugas untuk mengikuti diklat atau pelatihan. Adakalnya bidang penatarannya bukan mapel yang diasuh oleh guru. Di sini kesannya hanya untuk memenuhi kuota peserta saja. Sehingga program pengembangan profesionalisme guru hanya buet cilet-cilet saja.
Ketersediaan dana yang banyak di sektor pendidikan, lebih besar digunakan untuk membangun sarana fisik, dan itu seringkali dilakukan dengan prinsip bagi-bagi “tumpok”. Sementara untuk pengembangan sumber daya manusia agak terabaikan. Kalaupun ada kurang sistemik dan cenderung insidental dan frakmentatif saja.
Pada tataran pratik di lapangan juga sering ditemukan guru berkecimpung dengan aktivitas di luar tugas pokoknya. Guru di sekolah seringkali dibebani dengan aneka tugas di luar profesi guru. Adakalanya guru menjadi bendahara dana bos, dan operator dapodik. Tentu saja tugas tambahan ini menguras energi guru yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan profesionalismenya.
Pada sisi lain jam mengajar minimal untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi tergolong tinggi. Mereka kadangkala harus mengajar di sekolah yang berbeda agar memperoleh tunjangan sertifikasi. Sudah barang tentu ini cukup merepotkan. Jika syarat minimal jam mengajar dapat diturunkan, kelebihan jam guru dapat digunakan untuk pengembangan diri. Misalnya melalukan penelitian di dalam kelas, serta merancang model, media, dan teknologi pembelajaran. Melakukan pengayaan diri dengan membaca dan menelaah sumber pembelajaran, tidak buku teks tapi juga buku referensi dan sebagainya.
Peran kepala sekolah sebagai supervisor dan manager di lapangan perlu dimaksimalkan sebagai pembina profesionalisme guru. Di sini pengangkatan kepala sekolah harus bebas dari pengaruh politik dan primordialisme “awak tanyoe”. Dengan demikian kepala sekolah dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, baik sebagai supervisor maupun sebagai manajer di sekolah.
Inilah problem klasik pendidikan di Aceh yang butuh perhatian dan pemecahan secara integral dan holistik. Jika tidak ada upaya yang serius, maka program Aceh Carong adalah selogan yang hampa makna. Ia hanya menjadi jargon politik belaka yang bisa muncul kapan saja dengan bahasa yang berbeda, sedangkan hasilnya adalah “Aceh Ngong”.[]
Discussion about this post