MEDIAACEH.CO, New Delhi – Yasmin, ibu tiga anak berusia 35 tahun, memegang tasbihnya yang berwarna biru dan putih ketika dia menunggu di kamar mayat sebuah rumah sakit untuk mengambil mayat abang iparnya yang babak belur. Dia baru saja kehiangan saudaranya yang seorang penduduk di lingkungan New Delhi. Kisah ini ditulis Stephani Findlay dan Ami Kazmin dari Financialtime.com pada 28 Februari lalu.
Ini peristiwa ini mengagetan karena lokasi mereka tinggal adalah dari kanalngan kelas pekerja baik yang beragama Hindu dan Muslim. Mereka pun selama ini telah hidup berdampingan secara damai selama bertahun-tahun. Mehtab sendiri adalah seorang pekerja konstruksi berusia 22 tahun.
Nasib Mehtab dalam kasus rusuh berbau agama di India beberapa hari silam memang naas. Kala itu dia pada Selasa malam dia keluar dari rumah untuk membeli susu. Namun kepergiannya itu terntara tidak pernah kembali. Di tenhaj jalan dia diangkut pergi oleh perusuh yang menggunakan tongkat. Nasib sempat tak pasti. Tapi kemudian ia ditemukan mati beberapa jam kemudian. Tubuhnya memar dan terbakar.
Tak hanya itu malam itu suasana sangat mencekam. Bersamaan dengan kepergian Mehtab, Yasmin dan suaminya meringkuk ketakutan di rumah. Kala itu ia mendengar para peusuh mengeluarkan ancaman akan membakar toko-toko dan tempat tinggal milik Muslim tetangga mereka.
“Orang-orang meneriakkan slogan-slogan Jai Shri Ram (Salam Kepada Srr Rama) dan mengatakan ‘tinggalkan rumah ini – kita akan membakarnya’,” kata Yasmin, suaranya bergetar dengan emosi.
“Ini adalah pertama kalinya saya melihat konflik seperti itu. Kami selalu menganggap Hindu sebagai saudara kami. (Mehtab) dibunuh karena ia seorang Muslim. Kami diserang karena kami Muslim, ” ujarnya lagi.
Nehtab adalah buruh muda dari salah satu korban dari sedikitnya 42 orang yang terbunuh dalam insiden rusuh penyerangan umat Hindu di India kepada warganya launnya tang Muslim. Kala itu setidaknya 300 orang lainnya terluka parah. Bahkan layaknya sebuah wabah, rusuh ini merupakan hal terburuk dari berbagai kekerasan sektarian di sebuah kota besar di India sejak 2002 ketika lebih dari 1.000 orang, terutama Muslim, terbunuh dalam kerusuhan di Gujarat.
Akibat rusuh dan pembantaian di ibu kota India itu pemandangan kota kini meninggalkan petak-petak bekas puing sehingga tampak seperti zona perang. Itu terlihat dengan masjid-masjid yang terbakar, toko-toko dan bangunan-bangunan lain, pecahan kaca dan kendaraan yang hangus.
“Suasana ‘horor’ ini seakan mengikuti permusuhan terus-menerus antara mayoritas Hindu India dan minoritas Muslimnya. Ini makin intens terjadi semenjak Narendra Modi yang berkuasa menjadi perdana menteri India yang berasal dari, Bharatiya Janata Party, kata para analis.
Memang ketegangan sektarian telah meningkat sejak Desember lalu ketika pemerintah Narendra Modi mengamandemen undang-undang kewarganegaraan negara India. Dalam undang-undang itu dimasukkan kriteria agama untuk pertama kalinya dan memberi umat Hindu dan pengikut agama Asia Selatan lainnya lebih diprioritaskan daripada Muslim.
Selain itu pertumpahan darah akibat penyerangan umat Hindu kepada Muslim ini bertepatan dengan kunjungan Donald Trump ke India. Padahal wacana publik di media massa sangat memberikan tempat atas pujian berlebihan Presiden AS untuk Narendara Modi. Akan hal itu, para analis di India telah memperingatkan bahwa kerusuhan ini akan mengancam serta mengalihkan perhatian pemerintah dari tugas mendesak untuk menghidupkan kembali ekonomi yang goyah. Apalagi Modi ingin mewujudkan ambisinya untuk menjadi salah satu kekuatan global.
“Mereka telah melepaskan kekuatan yang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan,” kata Ashutosh Varshney, seorang profesor ilmu politik di Brown University. “Apakah Tuan Modi dan [menteri dalam negeri Amit] Shah dapat memeriksa kekuatan-kekuatan ini masih harus dilihat. Para perusuh itu pajurit yang berjalan kaki di atas tanah yang dipenuhi dengan semangat ideologis yang telah mengebor hari mereka, yakni dengan kiasan bahwa nasionalisme Hindu yang melihat Muslim sebagai musuh India. ”
Masalah memilukan ini ternyata meluas ke berbagai di daerah di India. Pada hari Minggu Kapil Mishra, seorang politisi pemimpin partai BJP garis keras, mengancam umat Islam yang memblokir jalan dalam protes damai akan dikenai pidana akibat hukum kewarganegaraan. Saat itu dia berbicara kepada orang-orang Hindu sayap kanan terkait kunjungan Presiden AS tersebut. Dia memperingatkan bahwa jika para pengunjuk rasa tidak pergi pada saat kunjungan Trump selesai, mereka akan mengambil masalah yang berasal dari tangan mereka sendiri.
Dan tak lama setelah itu, kata saksi, kelompok-kelompok Hindu dan Muslim mulai saling melempari batu. Alhasil, pada hari Senin, banyak daerah besar di India berada dalam cengkeraman kerusuhan dalam skala penuh. Gerombolan orang Hindu, membawa senjata api, bom bensin dan batang besi, merampok melalui jalan-jalan yang padat di daerah itu. Mereka juga menyerang orang yang lewat dan membakar properti yang mereka curigai sebagai milik orang Muslim India.
“Mereka meminta kartu identitas untuk melihat apakah mereka Hindu atau Muslim. Dan jika mereka melihat orang Muslim mereka akan memukulnya,” kata Abul Kalam, seorang salesman berusia 60 tahun yang mengendarai sepeda motornya dengan seorang rekan Hindu ketika mereka menemukan para perusuh.
Bila menengok sejarah India, peristiwa rusuh sektarian ini seolah mengilang kembalai hal yang sama di peristiwa rusuh yang kejam pada tahun 1947. Saat itu hingga 2 juta orang diperkirakan telah meninggal akibat hal yang sama. Perusuh saat itu mempertanyakan orang-orang tentang agama mereka, menuntut mereka melafalkan doa, menunjukkan simbol-simbol agama atau bahkan menarik celana mereka.
“Jika seseorang memiliki janggut atau berpenampilan Muslim, mereka meminta orang membuka celana mereka dan membuktikan bahwa mereka Hindu,” kata seorang aktivis sosial berkisah sal sejarah buruk tersebut.
Sementara itu, para saksi mata lainnya mengatakan polisi tampaknya tidak berbuat banyak untuk menghentikan para perusuh. Mazid, seorang pemilik toko berusia 32 tahun, mengatakan ia dan tetangganya yang tinggal di sebuah ruas jalan campuran Hindu-Muslim kala itu sempat berjuang bersama berusaha melindungi rumah mereka dari amukan massa. Dan pada Selasa malam itu mereka melihat kerumunan massa yang disertai oleh petugas polisi datang ke arah mereka.
“Polisi bersama mereka dan kami pikir mungkin mereka akan menghentikan kekerasan, tetapi kemudian [seseorang] melepaskan tembakan,” kata Mazid. Tak hanya itu akibat tembakan itu saudaranya pun terbunuh dan dua tetangga terluka.
Imnas rusuh itu, ada hari Rabu pagi berikutnya, perdana menteri Modi, yang memiliki kendali atas kepolisian dan bertanggung jawab atas keamanan di ibukota, mengerahkan ribuan polisi paramiliter tambahan ke daerah-daerah yang dilanda kerusuhan untuk mencoba memulihkan ketertiban. Bahkan sore harinya, Modi mengunggah himbauan di Twitter untuk memohon perdamaian, Bagi publik Muslim ini meripakan – pengakuan publik pertamanya tentang kekerasan.
Meski perdana menteri Modi tengah mengeluarkan himbauan, bahkan di sertai kehadiran aparat polisi yang kuat, ketegangan di India tetap tinggi. Banyak keluarga Muslim dan HIndu yang tetapmemutuskan melarikan diri untuk mencari perlindungan dengan kerabat di tempat lain.
“Orang-orang takut – mereka meninggalkan rumah mereka,” kata Shankar Thakur, seorang guru berusia 28 tahun. “Massa yang datang, polisi tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkan mereka.”
Bahkan banyak juga yang mempertanyakan mengapa pemerintah perlu waktu begitu lama untuk mengatasinya. “Secara historis, kekerasan komunal di India tidak pernah merupakan hasil dari lemahnya kapasitas negara,” kata Gilles Verniers, seorang profesor ilmu politik di Universitas Ashoka, dekat Delhi.
“Negara cenderung mencegah kekerasan meletus bila negara memiliki niat untuk menghentikannya,” Katanya lagi.
Para analis India mengatakan kerusuhan itu mungkin tidak separah kekerasan perkotaan lainnya yang selama ini kerap mengguncang India. Tetapi toleransi pemerintah yang jelas atas dua hari pertumpahan darah yang tidak berhasil diatasi telah mengirimkan sinyal kuat kepada komunitas Muslim yang sudah merasa dikepung, kata mereka.
“Kekerasan telah mencapai tujuannya,” kata Mr Verniers. “Ini telah menegaskan dominasi Hindu dan mengklaim kepemilikan ruang publik.”
Sumber: Republika.co.id
Discussion about this post