MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Sistem kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia menganut asas trias politika, yakni hadirnya lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam tata kelola pemerintahan, eksekutif dan legislatif berperan paling dominan. Kedua lembaga tersebut akan terus menerus melekat dengan kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan anggaran dan program serta pelaksanaan pembangunan dalam upaya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Hal itu disampaikan Mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Ghazali Abbas Adan dalam keterangan tertulisnya kepada mediaaceh.co, Kamis 27 Februari 2020, terkait dengan relasi eksekutif dan legislatif Aceh terhadap penetapan dan pengawasan APBA tahun 2020.
“Adapun program pembangunan itu dapat berjalan lancar, maka kedua lembaga tersebut haruslah kompak dan saling bersinergi. Karena sistem yang digariskan konstitusi negara mengharuskan pembahasan berkaitan dangan anggaran untuk membiayai program pembangunan itu dibahas secara bersama-sama dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan eksekutif dan legaslatif,” kata Ghazali Abbas Adan.
Menurutnya, sampai saat ini DPRA belum memegang atau memiliki Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) tahun 2020 sebagai dasar pelaksanaan fungsi pengawasan DPRA terhadap anggaran dan proses pembangunan di Aceh.
Hal itu disebabkan pihak eksekutif dalam hal ini Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) belum menyerahkannya kepada DPRA walaupun sudah beberapa kali dimintanya. Dan dikarenakan yang diminta itu belum juga diserahkan, maka keluarlah rupa-rupa pernyataan yang diarahkan kepada Plt Gubernur sebagai pemimpin eksektif Aceh, yang terakhir Ketua DPRA menyatakan jangan ada yang merasa super power. Pun demikian eksekutif tetap pada sikapnya, karena merasa tidak ada kewajiban menyerahkan DPA kepada DPRA.
“Terhadap dinamika ini, saya menduga sebab musabbabnya dikarenakan dalam proses pembahasan dan penetapan Qanun Tentang Tata Tertib (Tatib) dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) sudah terjadi dan muncul hegemoni super pawer. Sehingga tidak terakomodirnya aspirasi beberapa fraksi yang juga representasi rakyat di DPRA,” kata Ghazali.
Akibatnya maka Qanun Tatib/AKD itu hingga kini belum disahkan oleh Kemendagri, yang mungkin dinilai Qanun Tatib itu tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang di atasnya. Menurut pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa Peraturan Daerah (Perda/Qanun) itu menempati urutan ke enam di bawah UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang/PERPPU, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden.
“Sekali lagi dugaan saya karena Perda/Qanun Aceh Tentang Tatib/AKD DPRA belum disahkan Kemendagri, maka eksekutif Aceh berkaitan dengan APBA tidak mau mengambil resiko. Dan menurut saya sikap eksekutif Aceh sudah tepat, karena tugas pengawasan APBA yang sah dilakukan oleh instrumen parlemen yang sah pula. Sedangkan Kemendagri merupakan institusi negara yang berwenang untuk itu,” jelas Ghazali Abbas.
Ghazali Abbas berharap dengan kejadian tersebut kiranya DPRA boleh introspeksi terhadap proses pembahasan dan penetapan Qanun Tatib/AKD DPRA. Serta kaitannya dengan pernyataan rupa-rupa hal kepada eksekutif/Plt Gubernur Aceh. Sekaligus segera menghentikan hegemoni super power di DPRA yang sangat merugikan rakyat Aceh.
“Keabsahan Qanun Tatib/AKD DPRA sangatlah penting untuk implementasi APBA. Dengan demikian pembangunan di Aceh pun dapat segera dilaksanakan sehingga masyarakat pun akan sejahtera,” pungkas Ghazali Abbas.[] (zik/rel)
Discussion about this post