MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Perhimpunan Intelektual Muda Aceh (Pintu Aceh) menggelar dialog “memahami deradikalisasi sebagai upaya menangkal masuknya paham radikal” di Aula Fakultas Fisip, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis 28 November 2019.
Dialog tersebut menghadirkan Wakil Ketua Yayasan Jalin Perdamaian, Surya Achda, yang merupakan mantan teroris Jalin.
Ketua Perhimpunan Intelektual Muda Aceh, Husni Fahrizal, mengatakan, maraknya aksi terorisme di Indonesia sangat mengkhawatirkan sehingga pihaknya tergugah untuk menggelar dialog tersebut.
“Teroris merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat,” kata Husni.
Wakil Ketua Yayasan Jalin Perdamaian, Surya Achda, dalam pemaparannya sebagai narasumber mengatakan, semua mantan narapidana dari kasus yang berhubungan terorisme, terutama kasus Jalin, Aceh Besar, kini tergabung dalam satu Yayasan yang dibentuk dari inisiasi BNPT, yaitu Yayasan Jalin Perdamaian.
Ia menceritakan pengalaman soal kemunculan kelompok Jalin yang dimulai setelah pihaknya berkenalan dengan jaringan terorisme dari luar negeri sehingga mereka berencana membentuk suatu gerakan yang sama di Aceh.
“Kami pernah buat kegiatan pemberangkatan relawan ke Palestina Jalur Gaza walau akhirnya batal karena berbagai faktor, padahal sudah terkumpul dana sekitar 1,4 miliar untuk bantuan yang kami kumpulkan di jalan-jalan dan rumah-rumah penduduk. Akhirnya dana bantuan itu kami gunakan untuk melakukan latihan, yang kemudian menjadi ide awal pembentukan jaringan di Jalin Jantho,” ujar Surya.
Surya juga menjelaskan, kelompoknya yang berjumlah 50 orang di Jalin bahkan sempat mengatur rencana menyerang Polsek, meskipun kemudian tidak terjadi. Namun ia menyadari, pelatihan Jalin lebih terasa sebagai sebuah piknik yang menghambur-hamburkan uang karena banyaknya dana sumbamgan yang mereka miliki.
“Kalau boleh jujur mungkin pelatihan teroris di Jalin saat itu mungkin jadi latihan paling enak, dan terasa piknik karena uang yang berlimpah, tiap minggu kami turun ke Peunayong untuk belanja dan bawa duit lebih kurang 100juta,” katanya.
Menurut Surya, paham radikal muncul di berbagai negara karena kesalahan menafsirkan ajaran agama. Tujuannya, lanjut Surya, adalah ingin mengubah paham suatu negara, dari berbagai system yang ada di dunia menjadi satu system yaitu system Islam. Bagi mereka instansi-instansi negara dan aparaturnya adalah musuh yang harus diperangi.
“Sebagai contoh ISIS, ada banyak tahapan dakwah yang mereka langgar seperti contoh seharusnya ada tahapan lembut untuk melakukan pendekatan pada orang yang jauh dari agama untuk kembali pada Allah, sementara bagi ISIS mereka hanya memilih satu jalan yaitu membunuh mereka semua,” kata Surya.
Sementara itu Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Banda Aceh Abdul Syukur dalam penjelasannya mengatakan, radikalisme itu paling dekat dengan Intoleransi, yang kemudian akan mengakibatkan kehidupan yang tidak rukun.
“Hidup rukun adalah keadaan yang ingin dicapai oleh semua penganut agama. Lalu kenapa muncul tidak toleran dan radikalisme? Itu adalah awal dari ketika seseorang rendahnya Pendidikan dan pemahaman,” kata Abdul.
Abdul juga mengatakan, faktor seseorang menjadi intoleran yang kemudian menjadi radikal, terutama diakibatkan oleh alur politik, emosi keagamaan, dan yang paling dominan adalah kebijakan pemerintah.
Dialog itu diharapkan memberi pemahaman kepada generasi muda Indonesia, khususnya Aceh, agar mampu menyadari potensi negatif cikal-bakal lahirnya paham radikalisme.
Discussion about this post