MEDIAACEH.CO, Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI), Fadhil Rahmi mengapresiasi Bupati Simeulue dengan program ‘Satu Desa Satu Hafidz.’
“Kita harus mendorong seluruh desa di Aceh tidak hanya di Simeulue, satu hafidz satu desa harus menjadi program prioritas Aceh, baik provinsi, kabupaten atau kota,” kata Fadhil, Rabu 7 November 2019.
Ia mengatakan, sebagai mantan ketua IKAT, ia siap membantu memberikan informasi dan rekomendasi dayah-dayah tujuan, baik di Aceh maupun luar Aceh. “Jaringan dan networking kita selama ini bisa kita optimalkan untuk terwujudnya program satu desa satu hafidz,” kata anggota Komite III DPD RI ini.
Ia mengatakan, sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, wajar dan mustahak sekali program-program seperti ini digalakkan.
“Satu desa satu hafidz, satu desa satu sarjana hafidz, satu desa satu alumni Al Azhar/ Yamab/ Timteng dan program-program sejenis lainnya. kalau berbicara Aceh Carong, Gemilang, Madani dan sebagainya, titik beratnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata Fadhil.
Di tingkat desa, kata Fadhil, keuchik dan perangkat desa harus alokasikan dana desa untuk beasiswa. “Begitu juga di tingkat kabupaten. lebih-lebih di tingkat provinsi.”
Menurutnya, BPSDM Aceh harus jelas orientasinya. Alokasi dana beasiswa untuk bidang agama ke Timur Tengah tidak jelas. Kalaupun ada masih sangat minim.
“Sistem dan jenjang pendidikan gak update. Mau dibawa kemana nanggroe syariat kalau begini?,” tanya mantan Ketua IKAT ini.
Selain Simeulue, ia juga apresiasi bupati Abdya yang mempunyai program mencetak sarjana hafidz dengan mengalokasikan dana setiap tahun untuk 10 putra/ putri terbaik Abdya.
“Belum 3 tahun berjalan, manfaatnya sudah nampak. Hadirnya Ma’had Tahfidz yang dikelola oleh alumni Al Azhar di Abdya. Semoga daerah lainnya mau berbuat hal yang sama bahkan lebih,” ujarnya.
Fadhil juga mengkritis Pergub Nomor 28 Tahun 2019 tentang Beasiswa yang menyamakan syarat penerima beasiswa.
“Syarat-syarat yang ada sangat diskriminatif. Menyamaratakan sistem pendidikan luar negeri. Padahal sistem di Eropa dan Timur Tengah beda. Maka wajar yang ikut seleksi beasiswa tahfidz ke luar negeri hanya puluhan. Itupun rata-rata karena ada dispensasi atau keringanan syarat. Padahal peminat dan putra-putri Aceh yang memenuhi syarat lebih 500an setiap tahun,” ujarnya lagi.
Ia mengatakan sudah membentuk tim untuk mengkaji Pergub beasiswa Aceh.
“Sudah saya bentuk tim untuk telaah. Kalau benar diskriminatif, dan tidak mengakomodir sistem pendidikan timur tengah, Pergub kita minta direvisi. Pendidikan agama harus diutamakan dan menjadi prioritas,” ujarnya.
Discussion about this post