MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Masyarakat Pengawal Perdamaian dan Pembangunan Aceh (M@PPA) menyurati Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dalam suratnya, mereka mempertanyakan keputusan Mendagri Nomor 188.34-4791 tahun 2016 tentang pembatalan beberapa ketentuan dalam Qanun Aceh tentang lambang dan bendera.
“Surat tersebut sudah kami kirimkan ke Kemendagri tadi pagi melalui kantor pos,” kata Koordinator Pusat M@PPA, Azwar AG, kepada mediaaceh.co, Senin 19 Agustus 2019.
Dalam suratnya, Azwar menjelaskan, keputusan menteri (kepmen) tersebut telah dibuat tiga tahun yang lalu, hal ini memicu kecurigaan publik Aceh seolah-olah pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dengan sengaja menyembunyikan kepmen tersebut dengan tujuan dan maksud yang belum diketahui.
“Semenjak disahkan oleh DPRA pada tahun 2013, Qanun Aceh tentang Lambang dan Bendera telah menuai polemik selama 6 tahun dan terus menjadi alat propaganda oleh para elit-elit politik di Aceh seolah-olah pemerintah pusat sengaja mengabaikan dan mendiamkan persoalan itu,” tulis Azwar dalam suratnya.
Kemudian, sebutnya, perang opini pro-kontra antar elit-elit politik di Aceh mengenai bendera di berbagai media massa yang telah berlangsung cukup lama berpotensi memicu pembelahan sosial di tingkat elit maupun masyarakat.
“Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi benih konflik sosial antar daerah, mengingat residu konflik Aceh sebelum perdamaian di Helsinky belum benar-benar sembuh total,” pungkasnya.
Menurutnya, masyarakat Aceh di berbagai kabupaten/kota juga menanggapi isu tersebut dengan pro dan kontra, ada sebagian masyarakat yang mendukung Bendera dan Lambang Aceh sesuai lampiran Qanun Aceh tersebut (Bendera Bulan Bintang) dan tidak sedikit pula yang meminta adanya revisi dan perubahan dalam konteks sejarah Aceh masa lalu seperti Bendera Alam Peudeung.
“Apabila tidak adanya penyelesaian yang tuntas, pro-kontra ini akan terus berlangsung sampai kapanpun dan tentunya hal ini sangat tidak produktif bagi keberlangsungan pembangunan di Aceh,” sebutnya.
M@PPA dalam hal ini sebagai salah satu elemen sipil meminta kepada Mendagri untuk menjelaskan kepada publik apakah salinan keputusan menteri tersebut benar-benar telah dikirimkan tembusannya kepada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Serta menjelaskan duduk perkara penyelesaian polemic Qanun Aceh Tentang Bendera dan Lambang.
“Sebab DPRA dan Pemerintah Aceh menyatakan tidak pernah menerima salinan Kepmendagri Nomor 188.34 479 tersebut. Hal ini penting bagi publik di Aceh untuk mendorong pemerintah Aceh dan DPRA agar transparan dan terbuka kepada rakyatnya sendiri dan supaya juga polemik Bendera dan Lambang Aceh tidak lagi menjadi “gorengan” para politisi yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Azwar mengatakan, apabila publik Aceh telah mendapatkan informasi yang utuh, tentunya elemen-elemen sipil dapat bersikap tegas dengan cara mendorong DPRA dan Pemerintah Aceh supaya bersikap bijak untuk mengimplementasikan Qanun Aceh tersebut. Sehingga dapat diterima oleh semua kalangan di seluruh Aceh serta selaras dengan aturan-aturan hukum yang ada.
“Besar harapan publik Aceh bahwa Bendera dan Lambang Aceh yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Aceh segera terwujud. Cukup sudah 6 tahun energi publik Aceh terkuras sia-sia untuk persoalan satu Qanun saja,” tulis Azwar dalam suratnya.[]
Discussion about this post