MEDIAACEH.CO, Yogyakarta – Wasingatu Zakiyah, perempuan Desa Sardonoharjo, Sleman, Yogyakarta gigih menyebarkan ajakan melawan politik uang menjelang Pemilihan Umum 2019. Ia aktif menggerakkan perempuan untuk berani menolak sogokan calon anggota legislatif maupun tim kampanye calon presiden. Di Musala Al-Barokah desa setempat, dia mengumpulkan puluhan perempuan anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), ibu-ibu dasawisma, Senin, 25 Februari 2019.
Desa Sardonoharjo berhawa sejuk di Kecamatan, Ngaglik, Sleman. Kecamatan ini secara topografi berada di wilayah lereng terbawah bagian selatan Gunung Merapi. Wasingatu prihatin dengan minimnya pendidikan politik di desa. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa misalnya tak muncul agenda pendidikan politik.
Padahal, desa menjadi sasaran empuk buat partai politik bersama calon anggota legislatif untuk politik uang dalam pemilu. Politik transaksional yakni kandidat membeli calon pemilih, kata dia menjadi budaya. “Untuk melawannya perlu napas panjang untuk melawannya,” kata dia.
Wasingatu menyebarkan pesan bahwa politik uang itu usang, buang ke lubang, dan tidak bermartabat. Di hadapan puluhan perkumpulan perempuan itu, Wasingatu menyebutkan memberi dan menerima politik uang menjadikan orang tak bermartabat.
Dia meminta warga setempat menjaga setiap suaranya yang bermakna dan tidak menukarnya dengan segala iming-iming caleg maupun timses capres. “Politik uang merusak persaudaraan. Jangan dibudayakan, apalagi dibudidayakan,” kata dia.
Ia juga menjelaskan bentuk-bentuk politik uang. Ada duit, bazar sembako caleg dan tim suksesnya, doorprize tim pemenangan capres, diminta tanda tangan untuk memilih, kampanye tanpa izin dengan membagikan makanan ringan yang mencantumkan gambar, nama dan nomor urut calon.
Selain ibu-ibu PKK, gerakan menolak politik uang di Desa Sardonoharjo juga melibatkan organisasi perempuan dari dua Ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Ada Muslimat dan Fatayat bagian dari NU dan Aisyiyah bagian dari Muhammadiyah. Desa itu juga mengundang mahasiswa dari sejumlah kampus.
Usaha keras Wasingatu itu mendapat dukungan penuh Kepala Desa Sardonoharjo, Herjuno Wiwoho. Herjuno menerbitkan peraturan kepala desa nomor 1 tahun 2019 tentang Anti-Politik Uang. Aturan itu menyebut Desa Sardonoharjo sebagai desa yang konsisten menolak, mencegah, dan melaporkan segala jenis praktek politik uang dalam proses pemilu.
Herjuno bersama puluhan perempuan Sardonoharjo hari itu membawa stiker bertuliskan kami, keluarga anti-politik uang. Dia memasang stiker secara simbolis di rumah seorang warga desa setempat, Nur. Dalam waktu dekat, desa tersebut akan memasang spanduk anti-politik uang di 18 dusun. Desa ini punya 24.700 jumlah penduduk.
Herjuno resah dengan politik uang yang marak terjadi sejak 1990-an. Dia mengamati politik uang tak hanya terjadi saat pemilu legislatif dan pilpres, melainkan juga saat pemilihan kepala desa di banyak tempat. “Desa kami menjadi embrio menolak politik uang,” kata dia.
Desa ini sudah menerbitkan peraturan kepala desa tentang anti-politik uang. Deklarasi Desa Sardonoharjo anti-politik uang secara simbolis sudah dilakukan pada 16 Februari 2019.
Herjuno juga melibatkan karang taruna, remaja masjid, takmir masjid, dan tokoh agama. Lewat pendekatan agama misalnya, kata dia orang lebih mudah menyerap dan memahami bahwa politik uang jauh dari nilai-nilai kebaikan agama. Contohnya kejujuran.
Koordinator Penyelesaian Sengketa Badan Pengawas Pemilu Sleman, Sutoto Jatmiko mengapresiasi desa yang mendeklarasikan anti- politik uang. Di Sleman baru ada dua desa yang mendeklarasikan politik anti-politik uang, yakni Desa Sardonoharjo dan Candi Binangun. Menolak politik uang bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga, RW, RT, padukuhan. “Desa-desa itu bisa menjadi contoh buat desa lainnya,” kata dia.[]
Sumber: Tempo.co
Discussion about this post