MEDIAACEH.CO, Jakarta – Penyebaran berita bohong atau hoaks diprediksi akan semakin masif menjelang pencoblosan 17 April mendatang. Hoaks ini sengaja diciptakan untuk membusukkan sekaligus menjatuhkan lawan politik.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) mengidentifikasi sebanyak 175 konten hoaks menyebar di internet dan media sosial selama Januari 2019. Dari jumlah tersebut, jumlah isu hoaks terkait pemilu dengan sasaran calon presiden dan calon wakil presiden baik Joko Widodo (Jokowi)- Ma’ruf Amin maupun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebanyak 81 konten.
Diantara yang berdampak dan men dapatkan perhatian publik adalah hoaks temuan tujuh kontainer surat suara sudah tercoblos, isu PKI, ijazah palsu, sampai berkaitan dengan simbol jari.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai, penyebaran hoaks untuk menjatuhkan lawan politik akan terus terjadi hingga pencoblosan 17 April mendatang, bahkan dia meyakini akan semakin masif dilakukan.
“Bisa jadi semakin masif menjelang pencoblosan. Oleh sebab itu harus ada gerakan bersama untuk melawannya,” ujar Ujang di Jakarta kemarin.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini mengungkapkan, hoaks tidak muncul dengan sendirinya. Isu ini sengaja digelontorkan ke publik bahkan celakanya menjadi bagian dari strategi menjatuhkan lawan. Menurut dia, pengaruh hoaks terhadap masyarakat sangat berdampak luar biasa.
Dia mencontohkan hoaks Jokowi antek PKI. Hampir sembilan juta masyarakat percaya itu. Artinya hoaks itu sangat berdampak. “Isu ini sengaja digoreng sedemikian rupa untuk menjatuhkan citra calon presiden. Salah satunya Jokowi dan PKI. Dan bahayanya, banyak masyarakat Indonesia yang dengan mudah jatuh ke dalam jebakan isu dan hoaks,” ungkapnya.
Ujang menjelaskan, membendung masifnya penyebaran hoaks harus menggunakan gerakan bersama. Dalam konteks ini, adalah gerakan kaum in telektual dalam membangun kesadaran moral, agar tidak memproduksi dan menebar hoaks.”Pemilu itu harus diwarnai kecerdasan dan kedamaian seperti yang sudah di sepakati kedua pasangan calon. Jangan membodohi rakyat untuk demi meraih kekuasaan,” tandasnya.
Penyebaran hoaks terkait pemilu juga marak selama Agustus-Desember 2018. Kementerian Kominfo mencatat 62 konten. Hoaks paling banyak teridentifikasi pada Desember 2018.
Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan, hasil ini berdasarkan penelusuran dengan menggunakan mesin AIS oleh Sub di rektorat Pengendalian Konten Internet Direktorat Pengendalian Ditjen Aplikasi Informatika.
Kementerian Kominfo merilis informasi mengenai klarifikasi dan konten yang terindikasi hoaks melalui portal kominfo.go.id dan stop hoax.id Pada Agustus 2018, ada 11 konten hoaks. Jumlah ini menurun pada September 2018, yaitu 8 konten. Pada Oktober 2018, konten yang teridentifikasi ada 12.
Sementara 13 konten teridentifikasi pada November 2018. Konten hoaks paling banyak teridentifikasi pada Desember 2018, yaitu 18 konten.
“Kementerian Kominfo mengajak seluruh masyarakat melakukan pengecekan dan penyaringan dulu sebelum menyebarkan informasi yang belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,” kata Ferdinandus dalam keterangan tertulisnya.Kementerian Kominfo mengimbau agar warganet dan pengguna media sosial atau aplikasi pesan instan tidak menyebarluaskan informasi hoaks dalam bentuk apa pun. Jika ditemukan adanya indikasi informasi yang mengandung hoaks, warganet da pat melaporkannya melalui aduankonten.id atau akun @aduankonten.
Upaya menangkal hoaks terus dilakukan Polri, terlebih sebaran berita bohong itu meningkat menjelang pemilu. Bahkan dari data yang diperoleh, hoaks mengemuka hingga 80% pada tahun politik ini.
Untuk itu, Polri mengajak semua masyarakat untuk menjadi agen pemberantas hoaks, terutama kaum milenial seperti mahasiswa, sebab mahasiswa memiliki pengaruh besar karena menjadi mayoritas pengguna media sosial. “Dari data yang ada, pemegang gad get, pengguna sosmed ada di adikadik mahasiswa,” tegas Kepala Divisi Humas Polri Irjen Mohammad Iqbal di Universitas Indonesia, Senin (4/2) lalu.
Dia menerangkan, hoaks bisa membuat onar. Sudah banyak negara-negara lain seperti Suriah yang porak-poranda karena hoaks. Tentu, Polri tidak mau ini terjadi di Indonesia. Karena itu, mereka menggandeng semua elemen masyarakat, termasuk mahasiswa untuk menjadi kekuatan bagi Polri agar pemilu aman dan kondusif. “Polisi tidak merasa optimal kalau sendiri,” tegas dia.
Iqbal menjelaskan bahwa penyebaran hoaks itu diatur dalam UU ITE. Selain menyebarkan berita bohong, undang-undang itu juga melarang penyadapan dan pencemaran nama baik. Dia lalu mencontohkan pelanggaran UU ITE yang mungkin dilakukan mahasiswa.
“Kamu upload dosen dari belakang, dosen ini orangnya gini, disebar. Dosen ngadu, pelaku ditangkap nangis,” tuturnya.
Selain di kampus, Polri juga menggelorakan semangat penolakan terhadap hoaks di pesantren. Salah satunya di Ponpes Sunan Gunung Jati Ba’alawy, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, kemarin.
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba’alawy, Kiai Muhammad Masroni, pendidikan di dalam pesantren telah mengajarkan ilmu untuk mengatasi keberadaan hoaks. “Di pesantren, santri juga diajarkan ilmu khalam, saat menerima kabar tidak diterima langsung,” ungkap Masroni.
Pihaknya juga selalu menekankan kepada santri agar kabar yang di terima harus dicek terlebih dahulu, dianalisis hingga akhirnya sampai pada kesimpulan. “Penggunaan telepon seluler di dalam pesantren ini telah diatur sesuai tingkat usai dan pendidikannya,” jelasnya.[]
Sumber: SINDOnews.com
Discussion about this post