MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Ketua Majelis Tinggi Partai (MTP) SIRA, Faisal Ridha mengatakan Milad ke-42 GAM adalah momentum untuk memaknai kembali spirit perjuangan Hasan Tiro dan GAM yang merupakan bentuk perlawanan atas ketertindasan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemiskinan yang diderita oleh rakyat Aceh.
“Lahirnya kesepakatan perdamaian MoU Helsinki antara GAM dan RI tidak terlepas niat baik kedua pihak demi terlaksananya kebangkitan Aceh pasca luluh lantak dihantam gempa tsunami pada Desember 2004 silam,” kata Faisal, Selasa 4 Desember 2018.
Melalui momentum peringatan Milad GAM ini, Faisal meminta kepada pemerintah pusat agar mengembalikan segala bentuk kewenangan Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki, sehingga rakyat Aceh memungkinkan melakukan penguatan di bidang sosial-politik, ekonomi, pendidikan, agama dan adat istiadat, tanpa adanya intervensi yang berlebihan dari pemerintah Pusat.
“Kepada seluruh elemen perjuangan dan rakyat Aceh bansigom donya diharapkan untuk tetap mengkonsolidasikan diri dalam satu kepentingan besar yaitu memajukan, menyejahterakan dan memakmurkan rakyat Aceh agar tercipta suasana adil makmur sebagaimana dicita-citakan mendiang Hasan Tiro,” ujarnya.
Ia menambahkan, peringatan Milad GAM tidak bisa dipandang sebagai bentuk dukungan kepada separatisme, tapi harus diinterpretasikan ulang dalam konteks Aceh yang damai dan sejahtera dalam rangkaian NKRI.
“Dalam konteks kekinian, spirit perlawanan dan perjuangan yang dibangun Hasan Tiro tidak bisa lagi ditafsirkan sebagai gerakan perlawanan untuk memisahkan diri dari NKRI, sebab penafsiran ini sudah tidak lagi relevan pasca tercapainya MoU pada 2005 silam. Yang harus kita warisi sekarang adalah spirit untuk memerdekaan Aceh dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan,” kata Faisal.
GAM yang dideklarasikan Hasan Tiro 42 tahun lalu adalah satu bentuk gerakan penyadaran agar masyarakat Aceh kembali mengenal dirinya dan posisinya dalam Republik Indonesia yang telah terbenam dalam peta sejarah.
GAM yang dideklarasikan Hasan Tiro pada 4 Desember 1976 pada awalnya adalah gerakan intelektual yang kemudian berubah menjadi gerakan bersenjata akibat 'tidak bijaknya' Jakarta kala itu yang memosisikan Aceh sebagai 'anak tiri' dalam tubuh Republik.
Hasan Tiro tidak hanya melakukan gerakan bersenjata sebagai bentuk “penekanan” atau dengan kata lain “nasehat keras” kepada Republik, tapi juga melakukan “indoktrinasi” ideologis kepada masyarakat sehingga gerakan ini pun mendapat dukungan masif dari rakyat Aceh sebagai manifestasi loyalitas mereka pada keistimewaan Aceh yang tenggelam kala itu.
Discussion about this post