MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Lembaga Seuramoe Budaya menggelar diskusi publik yang bertemakan '20 Tahun Reformasi dan Arah Pembangunan Bangsa' di Warung Kopi 3 in 1 Lampineung, Banda Aceh, Jumat, 25 Mei 2018.
Direktur Seuramoe Budaya, Zahrul Fadhi Johan, S.S., M.A , mengatakan kegiatan ini dilakukan dalam rangka memperingati hari kebangkitan Nasional dan 20 tahun Reformasi Indonesia.
“Selain itu, bertujuan untuk mengkaji sejauh mana agenda reformasi 1998 mampu mempengaruhi arah pembangunan bangsa, serta melihat tantangan-tantangan apa saja yang berpotensi mengganggu realisasi agenda reformasi dan pembangunan bangsa,” sebut Zahrul.
Pada acara tersebut, sebut Zahrul, turut hadir dua pemateri yakni Muhammad Taufik Abda sebagai Peneliti Pusat Penelitian Ilmu Sosial Budaya Unsyiah, dan Kurniawan S, SH., LL. M, selaku Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unsyiah yang juga sebagai Direktur Eksekutif P3KA.
Kurniawan, SH, LL.M, salah satu narasumber menyampaikan tentang bagaimana mana kehidupan berbangsa setelah hari kebangkitan Nasional. Menurut Kurniawan, reformasi tidak berarti menganggap semua yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru buruk dan harus diganti dengan yang baru.
“Salah satu kekurangan kita adalah setiap pergantian kekuasaan, maka akan berganti pula kebijakan. Akibatnya, ada banyak proyek yang tumpang tindih dan program yang terbengkalai akibat pergantian setiap pergantian rezim kuasa,” ujar Kurniawan.
Menurutnya, ada hal-hal yang seharusnya dipertahankan sebagai warisan dari pemerintah orde baru, semisal GBHN, karena tanpa itu bangsa Indonesia ibarat kapal yang berlayar tanpa kompas.
“Padahal, GBHN hadir sebagai pola umum pembangunan nasional yang di dalamnya memuat program-program pembangunan yang menyeluruh, terarah, terpadu, dan berlangsung secara kontinyu,” katanya.
Menurutnya, pembangunan yang terus-menerus akan mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 45.
“Pelaksanakan amanat reformasi adalah tanggung jawab kita bersama saat ini, dengan cara sama-sama menjawab tantangan kaderisasi kepemimpinan, melawan penyalahgunaan narkoba, juga dengan melakukan efisiensi lembaga pemerintah,” tambah Kurniawan.
Narasumber lain, Muhammad Taufik Abda yang dalam diskusi tersebut menyampaikan perihal progres reformasi dari capaian hingga tantangannya, menyebut wacana reformasi sebagai akumulasi kekecewaan rakyat terhadap pemerintah yang sudah dimulai sejak 1960-an.
Menurut Taufik, beberapa agenda reformasi masih belum terealisasi. Kerja-kerja politik untuk mensejahterakan rakyat belum terwujud, hingga terjadi krisis kepemimpinan dan kegagalan partai-partai politik dalam mendorong kehidupan politik yang sehat.
Ia juga menambahkan, supremasi hukum belum maksimal dimana masih adanya tebang pilih dalam penegakan hukum.
“Meski angka pengangguran dan kemiskinan sudah turun saat ini, namun secara umum, perekonomian kita masih bermasalah. Hal ini terbukti dengan persoalan harga pokok dan inflasi mata uang rupiah,” pungkas Taufik Abda.
Sedangkan dalam konteks ke-Acehan, bagaimana pemerintah Aceh harus menciptakan pemerintahan yang bersih, menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan, serta isu keamanan menjadi wacana penting dalam menjalankan amanat reformasi.
Terkait tentang Aceh, menurut Taufik, hari ini Aceh menjadi tempat studi banding untuk isu-isu konflik dan juga menjadi lumbung pengetahuan dalam hal mitigasi bencana.
“Hal ini menjadi peluang besar bagi kita sebagai bagian dari menjalankan amanat reformasi, untuk menjadikan aktivitas-aktivitas penelitian sosial budaya sebagai sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik oleh pemerintah, sehingga kebijakan yang hadir akan berorientasi pada penyelesaian kebutuhan rakyat, bukan sebaliknya yang mempertegas ketimpangan sosial di masyarakat,” katanya.
Adapun, peserta yang turut hadir pada diskusi itu sebanyak 50 orang yang berasal dari berbagai profesi seperti aktivis, dosen, mahasiswa, pemuda serta masyarakat umum yang dianggap mampu memberi kontribusi terhadap wacana ini.[]
Discussion about this post