Penulis: Qusthalani, S.Pd, M.Pd*
ACEH merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekhususan tersendiri atau self goverment. Sesuai UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Jelas terlihat Aceh memiliki keistimewaan dalam bidang agama dan pendidikan.
Salah Satu keistimewaan dalam pendidikan yaitu lahirnya kebijakan untuk mengelola pendidikan informal dengan membentuk sebuah badan dayah sesuai Qanun Nomor 5 tahun 2008. Hak yang diberikan untuk mengelola pendidikan yang sudah menjadi khasanah dalam masyarakat Aceh menjadi lebih terarah. Kekhasan dari dayah di Aceh yaitu terletak pada budayanya yaitu “Beut Seumeubeut”.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan dayah perlahan-lahan mulai berekspansi dengan mengintegrasikan pendidikan umum didalamnya. Pendidikan mulai dari sekolah menengah pertama sampai dengan sekolah menengah atas. Secara garis besar pendidikan dayah terbagi atas tiga, yaitu: (1) Dayah salafiah, (2) Dayah terpadu, (3) Dayah Modern.
Tujuan utama dari sistem tersebut yaitu untuk menyeimbangkan pendidikan agama dan pendidikan umum bagi generasi muda di Aceh. Sebagai sebuah daerah yang bergelar syariah Islam, daerah ini memiliki estiensi tersendiri dalam mengenalkan dan mempertahankan adat dan kebudayaanya.
Santri atau biasa disebut dengan aneuk dayah harus mampu belajar pendidikan seperti di sekolah dasar dan mereka juga harus mampu mengikuti semua materi di dayah pada umumnya.
Dayah seperti ini disebut dengan dayah terpadu. Konsep dayah ini sudah menjamur dikalangan dayah-dayah salafi di Aceh. Manajemen yang dijalankan tidak jauh berbeda dengan manajemen yayasan pada umumnya. Uniknya disini, lain yayasan atau pengelola dayah terpadu itu. Lain pula dengan manajemen yang dijalankannya.
Kekurangan dan Keunggulan Dayah Terpadu
Dayah terpadu merupakan salah satu usaha untuk melakukan inovasi baru dalam sistem pendidikan Islam. Pada tahun-tahun pertama pendirian dayah terpadu di Aceh, berbagai rentetan prestasi ditoreh oleh para aneuk dayah, baik itu dalam bidang agama maupun umum
Dayah pada hakikatnya juga wajib memenuhi standar minimal Pendidikan Dayah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Standar Pendidikan Dayah Salafi yang terdiri terdiri dari: standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; standar penilaian pendidikan. Standar pendidikan seperti itu, tidak jauh berbeda dengan pendidikan formal lainynya. Namun banyak kekurangan disini yang harus dibenahi.
Tak dipungkiri bahwa Dayah terpadu dengan segala kelebihannya telah mampu menjadikan kualitas pendidikan Aceh meningkat. Beberapa data menyebutkan bahwa Dayah terpadu selalu menjadi garda terdepan dalam mengawal pendidikan Aceh.
Contohnya baru-baru ini alumni dayah di Aceh mampu menciptakan helikopter yang masih dalam proses uji coba. Helikopter itu diberi nama NSG-01 DY. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan, aneuk dayahi tak bisa dianggap remeh (Tribunews.com).
Namun sebagai institusi yang membawa nama Dayah, kemajuan yang dicapai tidak seimbang antara ilmu agama dan umum. Begitu juga dengan pembinaan akhlak generasi telah mengalami penurunan tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Pembelajaran kitab-kitab kuning harus didorong lagi, setidaknya murid telah menganal kitab berikut isi kitab walaupun belum secara mendalam. Pada segmen lain, Kita menyambut positif terhadap ide dari Dayah terpadu untuk memisahkan aatara lelaki dan perempuan. Penyelamatan murid menjadi hal niscaya, santri harus merasa diayomi, bukan diberi ancaman yang merusak fokus kelimuwan.
Profesionalistas Guru Dayah dan Umum
Berbicara pendidikan dan keberhasilan anak didiknya. Baik di dayah maupun dalam pendidkan formal lainnya, tidak terlepas dari peran gurunya.
Oleh karena itu, profesionalisme para guru sangatlah penting. Betapa guru yang menjadi pendidik untuk para generasi muda tak hanya berperan menggeluti hal duniawi saja, melainkan merasakan nikmat bergelut dengan segala aktifitas ukhrawi.
Lalu pertanyaannya, pentingkah profesional guru dayah diisni ? Penulis tidak mengarahkan asumsi-asumsi yang berlebihan. Ketika kita mengatakan guru dayah, yang terbayang bagi sebagian besar kalangan guru dayah adalah tengku (guru Ngaji). Perlu dipahami bahwa dayah di Aceh sudah mulai luas pemaknaannya. Ketika dayah sudah menjadi dayah terpadu atapun modern, maka semua sistem didalamnya ikut terlibat. Tak terkecuali gurumya. Guru dalam pendidikan formal juga bisa dikatakan sebagai ustadz atau guru dayah. Jadi, yang penulis maksud disini profesionalitas guru dayah adalah guru di dayah tetapi mengajar dalam pendidikan formal.
Penulis akan mengajak pembaca untuk memberikan jawaban sendiri atas pertanyaan di atas setelah memberikan beberapan argumen yang kira-kira bisa diterima oleh akal sehat.
Dalam dunia pendidikan, guru adalah seorang pendidik, pembimbing, pelatih, dan pengembang kurikulum. Guru harus mampu menciptakan suasana kelas dan sekolah yang menyenangkan.
Guru profesiona merupakan faktor penentu proses pendidikan berkualitas. Untuk dapat menjadi guru profesional, mereka harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualisasi disi sesuai dengan kemampuan dan kaidah-kaidah guru yang profesional.
Oleh karena itu guru dayah diharapkan tidak hanya sebatas menjalankan profesinya, tetapi mereka harus memiliki interest yang kuat untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan perkembangan dan tantangan global. Guru dayah harus memiliki spesifik yang berbeda dengan guru pada sekolah umum.
Dalam era teknologi komunikasi yang berkembang begitu pesat saat ini. Guru di dayah jangan mau ketinggalan, mereka juga harus mampu menguasai itu untuk bisa memanajamen pembelajaran yang lebih baik. Sehinggai profesionalitas guru dayah bisa lebih tearah dan berkualitas.
Pendidikan yang baik, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat modern dewasa ini dan sifanya yang selalu menantang, mengharuskan adanya guru yang profesional. Pendidikan yang baik tergantung dari kemampuan gurunya dalam mengajarkan anak didinya.
Terkait dengan profesionalitas guru dayah, ada beberapa hal yang perlu kita cermati bersama, yakni: Pertama kita bisa melihat bagaiman keberhasilan pendidikan di Aceh tempo dulu yang notabenenya adalah anak anak santri. Keberhasilan dalam menguasai pendidikan umum, seperti kemampuan menciptakan kapal laut yang saat itu kita tahu masih sangat langka di Indonesia yang bisa. Ada juga sebuah goresan pena dalam membuat berbagai kaligrafi atau lukisan indah. Semua itu bisa kita lihat disimpan dengan rapi disebuah perpustakaan tua salah satu dayah di Aceh.
Kedua, Keberhasilan-keberhasilan seperti itu tidak lain karena adanya guru-guru di dayah yang mempu mengintegrasikan pendidikan umum ke pendidikan agama. Walaupun kita sadari banyak pendidikan umum yang diajarkan di sekolah bersumber dari satu kalam Allah.
Ilmu mantek dalam kitab kuning, ilmu siyasah, pengobatan dan juga banyak ilmu sains, kehidupan yang diajarkan dan masih banyak lagi.
Namun, sekarang semua itu ibarat angin berlalu. Tak banyak guru dayah yang bisa/mampu mengintegrasikan itu semua. Beberapa penyebabnya yaitu: masih menganggap bahwa pengetahuan umum adalah ilmu tidak penting. Acuh tak acuhnya perhatian guru dayah atau santri dalam memahami pengintegrasian tersebut. Masih minimnya pengetahuan tentang kitrah pendidikan Aceh yang sebenarnya. Tidak adanya pelatihan dan pengelolaan terhadap pola pendidikan seperti ini.
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini badan dayah. Pertama, perlu adanya sebuah manajemen yang mengatur pendidikan umum yang di integrasikan dalam pendidikan agama. Aceh yang memiliki kekhususan dalam pendidikan sudah selayaknya memikirkan pendidikan yang khas dan lain dari pendidikan daerah lainnya. Tujuan utamanya untuk mejaga khasanah budaya dan kemajuan daerah tentunya.
Kedua, perlu adanya pola pelatihan khusus bagi guru dayah terpadu. Pendidikan dan pelatihan yang dikhususkan bagaimana mengintegrasikan pendidikan seperti itu.
Ketiga, pola perekrutan guru dayah terpadu perlu diperketat melebihi guru pendidikan umum. Guru dalam pendidikan dayah terpadu harus mampu menguasai dua ilmu sekaligus, maka perlu dilakukan penyaringan yang khusus pula.
Keempat, sertifikasi guru dayah terpadu seperti guru pendidikan umum lainnya. Ketika berbicara kualitas juga harus memperhatikan kesejahteraan. Pekerjaan dan tanggung jawab yang besar harus sebanding dengan kesejahteraan yang dimilikinya. Keberhasilan suatu pekerjaan, sangat ditentukan oleh dua hal tersebut itu.
Guru-guru di dayah perlu melakukan terobosan-terobosan terbaru dalam mendidik peserta didiknya. Pola yang demikian perlu dilakukan untuk mengembalikan hakikat dan jiwa dari pendiidkan di Aceh. Pendidikan aneuk dayah/ santri, harus sebandinng atau melibihi pendidikan formal selama ini. Oleh karena itu dayah terpadu harus berbasis suatu program keahlian.
Guru yang bersertifikasi kehalian, pendidikan yang terintegrasi, hakikat dayah terpadu di Aceh sangat khas dan kental dengan nafas islam. Profesionalitas guru dayah, masih pentingkah? Semoga.
Wallahu ‘Alam Bissawab
Qusthalani, S.Pd, M.Pd
Guru SMAN 1 Matangkuli, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Aceh Utara.
Discussion about this post