BANDA ACEH—Ketua Fraksi Partai Aceh (F-PA) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Iskandar Usman Al-Farlaky, SHI, menyebutkan, kewenangan Aceh memberlakukan peraturan terkait dengan syariat Islam tidak bisa diintervensi oleh siapapun.
“Sebab kita punya regulasi yang membenarkan bahwa itu adalah kewenangan yang bersifat khusus dan istimewa,” katanya, Rabu (24/5) malam, menanggapi permintaan Komnas HAM soal revisi Qanun Jinayat.
Iskandar mengatakan, penegakan hukum merupakan wilayah yudisial tidak bisa diintervensi oleh kekuatan atau kekuasaan menapun, begitu juga dengan hukuman cambuk terhadap pasangan gay di Aceh. Ini, sambung dia, telah menunjukkan otoritas Aceh mengumandangkan bahwa area kedaulatan hukum syariat amat perlu untuk dilaksanakan.
“Konon, beberapa dekade lalu, Islam sebagai basis kultural masyarakat Aceh tidak dapat diartikulasikan dipaksa patuh pada rezim kekuasaan. Ketika rezim berubah, kultural Aceh yang Islam telah terwadahkan dalam UU keistimewaan Aceh. Lalu tersedia pula kekuasaan dan kewenangan bagi Aceh diberi oleh UUPA untuk hidup di bawah payung agama. Kini UU 44 Tahun 1999 dan UUPA membuka ruang untuk Syariat Islam diaktualisasi kembali di bumi Serambi Mekkah ini melalui qanun- qanun Syariat Islam,”sebut politisi muda tersebut.
Dia menambahkan, UUD 1945 tidak saja menganut prinsip persamaan atau HAM. UUD juga mengatur pembatasan hak, sekaligus UUD 1945 melindungi dan membuka ruang daerah-daerah khusus atau istimewa untuk diatur dalam UU tersendiri.
“Saya ajak saudara yang anti dengan Syariat Islam untuk menghormati hak konstitisional Aceh yang dilindungi oleh konstitusi. Jadi UUPA, UU Keistimewaan Aceh dan qanun adalah perundangan khusus yang berlaku di wilayah Aceh sebagai teritorial right yang dijamin oleh konstitusi,”bebernya.
Untuk itu, alumnus Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry ini mengungkapkan, qanun jinayat tidak perlu direvisi karena penerapan cambuk itu merupakan otoritas atau kewenangan Pemerintah Aceh sebagaimana tercantum dalam UUPA.
“Dimana Aceh dapat menjalankan Syariat Islam. Pemerintah pusat juga tidak bisa membatalkan tanpa diuji materiil ke MA. Maka, permintaan Komnas HAM tidak mendasar sama sekali,” demikian Iskandar Usman Al-Farlaky.
Sebagaimana diberitakan, Komnas HAM meminta Pemerintah Aceh merivisi qanun. Hal ini disampaikan pihak Komnas HAM setelah mencermati peristiwa penangkapan dan penjatuhan hukuman 85 kali cambuk oleh Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh, kepada MT (24) dan MH (20), yang didasarkan atas orientasi dan aktivitas seksual sebagai gay.
“Perlu dilakukan review terhadap qanun agar sesuai dengan semangat nilai hak asasi manusia yang tercermin dalam UUD 1945, ” ujar Wakil Ketua Eksternal/Pelapor Khusus Pemenuhan Kelompok Minoritas Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, dalam keterangan sebagaimana dilansir, Selasa (23/5).
MT dan MH dinilai terbukti melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun adalah Peraturan Daerah di Aceh. []
Discussion about this post